Assalamu'alaikum | Members area : Register | Sign in
About me | SiteMap | Arsip | Terms of Use | Dcma Disclaimer

Alamat :

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ
Menuntut ilmu merupakan kewajiban atas setiap muslim. [HR. Ibnu Majah, No: 224]

Pondok Pesantren As Sunnah Batu
Dusun Jeding, Junrejo, Kec. Junrejo, Kota Batu, Jawa Timur 65321
Map : https://goo.gl/maps/8DLBKCUjpWayDCpJ8

MAHAD AS SUNNAH
Jl. Ikan Hiu II, Purwodadi, Kec. Blimbing, Kota Malang, Jawa Timur 65142
Map : https://goo.gl/maps/Dip7gM2VoAZ7DtXz6

Mahad As Sunnah Lil Banat (Putri)
Jl. Achmad Yani Gg. II, Blimbing, Kec. Blimbing, Kota Malang, Jawa Timur 65126
Map : https://goo.gl/maps/Gxa7Er7Pj6GyNFHW6


Situs Ulama

Situs Ulama

Site Map - Daftar Isi Blog

Majalah Asy Syariah

Majalah Qudwah

Pengunjung

Arsip Blog

Diberdayakan oleh Blogger.
Home » » Kesesatan Aqidah Hizbut Tahrir

Kesesatan Aqidah Hizbut Tahrir

Senin, 17 Juni 2013

Bantahan Ilmiyah Atas Kesesatan Aqidah Hizbut Tahrir Rabu, 23-Agustus-2006 Penulis: Yusuf bin Abdullah bin Yusuf Al Wabil, MA* -------------------------------------------------------------------------------- Kami nukilkan di sini bantahan Yusuf bin Abdullah bin Yusuf Al Wabil (Asyaratus Sa’ah) dan Syaikh Rabi’ bin Hadi Al Madkhaly (Kasyfu Mauqifi Al Ghazaly) terhadap tulisan Muhammad Al Ghazaly (As Sunnah An Nabawiyah Baina Ahlil Fiqih wa Ahlil Hadits) yang diterjemahkan oleh penerbit Syiah yaitu Mizan Bandung, dengan judul “Studi Kritis Atas Hadits Nabi”. Tulisan ini relevan karena antara Al Ghazaly (tokoh Ikhwanul Muslimin) dengan Hizbut Tahrir sama-sama memiliki keyakinan terhadap penolakan khabar ahad dalam masalah aqidah. Kehujjahan Hadits Ahad Dalam Masalah Akidah Pembahasan ini ada kaitannya dengan tanda-tanda hari kiamat. Hal ini karena tanda-tanda itu banyak diterangkan dalam hadits ahad[1]. Dan sebagian ulama dari kalangan ulama theologia[2]. Demikian pula dengan sebagian ulama ushul[3], yang mengatakan bahwa hadits ahad itu tidak dapat dijadikan pedoman dalam akidah tetapi harus berdasarkan dalil yang qath’i yaitu ayat atau hadits Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam. Pendapat ini ditolak, karena hadits yang perawinya terpecaya dan sampai kepada kita dengan sanad shahih, maka wajib diimani dan dibenarkan, baik itu berupa hadits ahad maupun mutawatir. Inilah madzhab para ulama Salafus Shalih berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala : “Dan tidak patut bagi laki-laki yang Mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang Mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka.” (QS. Al Ahzab : 36) Dan firman-Nya : “Taatilah Allah dan Rasul-Nya.” (QS. Ali Imran : 32) Ibnu Hajar berkata : “Sungguh sudah terkenal perbuatan shahabat dan tabi’in dengan dasar hadits ahad dan tanpa penolakan. Maka telah sepakat mereka untuk menerima hadits ahad[4].” Ibnu Abil ‘Izzi berkata : “Hadits ahad, jika para ummat menerima sebagai dasar amal dan membenarkannya, maka dapat memberikan ilmu yakin (kepastian) menurut jumhur ulama. Dan hadits ahad termasuk bagian hadits mutawatir, sedangkan bagi kalangan ulama Salaf tidak ada perselisihan dalam masalah ini[5].” Ada orang bertanya kepada Imam Syafi’i rahimahullah, dia berkata : “Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam telah menetapkan demikian dan demikian.” Lalu orang itu bertanya kepada Imam Syafi’i rahimahullah : “Bagaimana menurutmu?” Maka Imam Syafi’i rahimahullah berkata : “Maha Suci Allah! Apakah kamu melihat saya dalam bai’at, kamu melihat saya diikat? Saya berkata kepadamu, bahwa Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam telah menetapkan, dan kamu bertanya, ‘bagaimana pendapatmu?’ ”[6] Kemudian Imam Syafi’i rahimahullah menjawab : “Apabila saya meriwayatkan hadits shahih dari Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam, lalu saya tidak mengambilnya, maka saya akan meminta kamu agar menjadi saksi bahwa akal saya telah hilang[7].” Imam Syafi’i rahimahullah tidak membedakan antara hadits ahad atau mutawatir, hadits tentang akidah atau amaliyah. Namun yang dibicarakannya hanya berkisar tentang shahih atau tidaknya suatu hadits. Imam Ahmad rahimahullah berkata : “Semua yang datang dari Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam dengan sanad baik, maka kita tetapkan dan bila tidak tetap (tidak sah) dari Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam, dan kita tidak menerimanya maka kita kembalikan urusan itu kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala.” Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman : “Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah, dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya.” (QS. Al Hasyr : 7) Dengan demikian Imam Syafi’i rahimahullah tidak mensyaratkan kecuali keshahihan hadits[8]. Ibnu Taimiyah berkata : “Hadits, apabila sudah shahih semua umat Islam sepakat wajib untuk mengikutinya[9].” Dan Ibnu Qayyim berkata saat menolak orang yang mengingkari hujjah hadits ahad : “Termasuk hal ini ialah pemberitahuan sebagian shahabat kepada sebagian yang lain, karena berpegang teguh pada apa yang diberitakan oleh salah seorang dari mereka dari Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam. Dan tidak ada seorang pun dari mereka yang berkata kepada seorang yang menyampaikan berita dari Rasululullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bahwa beritamu adalah berita perorangan (khabar ahad) yang tidak memberi faedah ilmu sehingga mutawatir. Dan jika salah satu di antara mereka meriwayatkan hadits dari Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam kepada orang lain tentang sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta'ala maka mereka menerimanya. Dan sifat itu diyakini dengan pasti, sebagaimana meyakini melihat Rabb, firman-Nya, dan panggilan-Nya kepada hamba-Nya pada hari kiamat dengan suara yang dapat didengar dari tempat yang jauh, serta turun-Nya ke langit dunia setiap malam dan menguasai langit serta Maha Kekal. Barangsiapa mendengar hadits ini dari orang yang menceritakannya dari Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam atau shahabat, maka dia harus yakin atas ketetapan maksud dari hadits seorang yang adil dan benar. Dan hadits itu tidak diterbitkan, sehingga mereka menetapkan sebagaimana hadits hukum … . Mereka tidak menuntut kejelasan dalam meriwayatkan hadits tentang sifat secara pasti, tetapi mereka langsung menerima, membenarkan, dan menetapkan maksud dari hadits Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam. Adapun yang menolak hadits ahad itu ialah pendapatnya Mu’tazilah, Jahmiyah, Rafidlah, dan Khawarij yang telah merusak kehormatan. Para Imam telah menjelaskan perbedaan pandangan mereka dari pendapat yang mengatakan bahwasanya hadits ahad memberikan faedah ilmu. Demikian pendapat Imam Malik rahimahullah, Imam Syafi’i rahimahullah, dan murid-murid Abu Hanifah rahimahumullah, Dawud bin Ali dan muridnya seperti Muhammad bin Hazm rahimahumullah[10]. Adapun yang mengingkari hujjah hadits ahad karena kesamaran[11] bahwa hadits ahad mengandung dzan dan mereka maksudkan dengan dzan adalah dugaan yang lebih kuat, karena kemungkinan terjadinya kesalahan seseorang atau kelalaiannya, dan persangkaan yang lebih kuat hanya dapat diamalkan dalam masalah hukum dan tidak boleh mengambilnya dalam masalah akidah. Alasannya dengan sebagian ayat yang melarang mengikuti persangkaan, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta'ala : “Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan sedang sesungguhnya persangkaan itu tiada berfaedah sedikitpun terhadap kebenaran.” (QS. An Najm : 28) Untuk menjawab penyimpangan ini perlu dijelaskan bahwa hujjah mereka dengan ayat ini tidak dapat diterima. Karena dzan (persangkaan) di sini bukan persangkaan yang bisa kita lakukan. Akan tetapi (persangkaan) yang berupa keraguan, dusta, dan kira-kira. Dalam kitab An Nihayah, Al Lisan, dan lainnya dari kitab kamus bahasa, dzan adalah keraguan[12]. Ibnu Katsir berkata dalam menafsirkan ayat ((Wa maa lahum bihi min ‘ilm)) maksudnya mereka tidak mempunyai pengetahuan yang benar yang membenarkan ucapan mereka, bahkan hal itu merupakan dusta dan mengada-ada serta kufur yang sangat keji. Dan mengenai ayat ((wa inna adz dzanna laa yughnii mina al haqqi syai’an)) maksudnya tidak dapat menempati (menggantikan) kebenaran. Dalam hadits shahih Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda : “Hati-hatilah terhadap persangkaan (yang buruk) karena persangkaan buruk itu sedusta-dusta pembicaraan[13].” Keraguan dan dusta adalah perbuatan yang dicela oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala, hal itu dikuatkan dengan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala : “Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah).” (QS. Al An’am : 116) Allah Subhanahu wa Ta'ala mensifati mereka dengan persangkaan yang merupakan sikap yang mengada-ada dan dusta. Dan jika kebohongan dan dusta itu yang menjadi dzan, maka dalam masalah hukum tidak boleh dipakai[14]. Karena hukum tidak didirikan atas keraguan dan mengada-ada. Adapun kelalaian seorang rawi, maka hadits ahad yang diriwayatkannya harus ditolak, sebab rawi harus terpecaya dan tsabit, maka hadits yang shahih itu tidak boleh mengandung kesalahan rawi. Sedangkan menurut kebiasaan yang berlaku, bahwa rawi terpecaya yang tidak lupa dan tidak dusta tidak boleh ditolak haditsnya. Dalil-Dalil Kehujjahan Hadits Ahad Dan bila sudah jelas kepalsuan argumentasi yang menolak kehujjahan hadits ahad dalam masalah akidah, maka dalil yang mewajibkan menerimanya banyak sekali, baik dari Al Qur’an maupun hadits, yaitu : 1. Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala : “Tidak sepatutnya bagi orang-orang Mukmin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.” (QS. At Taubah : 122) Ayat ini memerintahkan umat untuk belajar agama. Dan kata “golongan” (thaifah) tersebut dapat digunakan untuk seorang atau beberapa orang. Imam Bukhari berkata : “Satu orang manusia dapat dikatakan golongan.” Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta'ala : “Dan jika ada dua golongan dari orang-orang Mukmin berperang maka damaikanlah antara keduanya.” (QS. Al Hujurat : 9) Maka jika ada dua orang berperang, orang tersebut masuk dalam arti ayat di atas[15]. Jika perkataan seseorang yang berkaitan dengan masalah agama dan dapat diterima, maka ini sebagai dalil bahwa berita yang disampaikannya itu dapat dijadikan hujjah. Dan belajar agama itu meliputi akidah dan hukum, bahkan belajar akidah itu lebih penting daripada belajar hukum[16]. 2. Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala : “Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti.” (QS. Al Hujurat : 6) Dalam sebagian qira’ah, ((Fatasyabbatu : Berhati-hatilah))[17]. Ini menunjukkan atas kepastian dalam menerima hadits seorang yang terpecaya. Dan itu tidak membutuhkan kehati-hatian karena dia tidak terlibat kefasikan-kefasikan meskipun yang diceritakan itu tidak memberikan pengetahuan yang perlu untuk diteliti sehingga mencapai derajat ilmu[18]. 3. Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala : “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya, dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul-Nya (Sunnahnya).” (QS. An Nisa’ : 59) Ibnul Qayyim berkata : “Ummat Islam sepakat bahwa mengembalikan kepada Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam adalah ketika beliau masih hidup, dan kembali kepada sunnahnya setelah beliau wafat. Mereka pun telah sepakat pula bahwa kewajiban mengembalikan hal ini tidak akan pernah gugur dengan sebab meninggalnya Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam. Bila hadits mutawatir dan ahad itu tidak memberikan ilmu dan kepastian (yakin), maka mengembalikan kepadanya itu tidak perlu[19].” Adapun dalil-dalil dari hadits itu banyak sekali, antara lain : a) Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam mengutus delegasi dengan hanya satu orang utusan kepada para Raja satu persatu. Begitu juga para penguasa negara. Manusia kembali kepada mereka dalam segala hal, baik hukum maupun keyakinan. Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam mengutus Abu Ubaidah Amir bin Al Jarrah radhiallahu 'anhu ke negara Najran[20], Muadz bin Jabbal radhiallahu 'anhu ke negara Yaman[21]. Dihyah Al Kalbi radhiallahu 'anhu dengan membawa surat kepada pembesar Bashrah[22] dan lain-lain. b) Imam Bukhari meriwayatkan dari Abdullah bin Umar radhiallahu 'anhu, ia berkata : “Ketika manusia ada di Quba’ menjalankan shalat Shubuh ada orang yang datang kepada mereka, dia berkata sesungguhnya telah diturunkan kepada Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam Al Qur’an pada waktu malam, dan beliau diperintah untuk mengahadap Ka’bah, maka mereka menghadap Ka’bah dan wajah mereka sebelumnya menghadap Syam, kemudian beralih ke Ka’bah[23].” Dan tidak dikatakan bahwa ini hukum amali karena perbuatan hukum ini berdasarkan atas keyakinan keshahihan hadits. c) Dan dari Umar bin Khattab radhiallahu 'anhu, ia berkata : “Ada seorang shahabat Anshar, apabila dia tidak bertemu dengan Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam, saya mendatanginya dengan menyampaikan khabar dari Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam, bila saya tidak hadir, maka orang tersebut datang kepadaku membawa khabar dari Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam.[24]” Maka inilah peristiwa yang dilakukan shahabat, yang memperlihatkan kepada kita bahwa satu orang dari kalangan shahabat sudah cukup untuk menerima hadits yang disampaikan oleh satu orang dalam urusan agamanya, baik yang berkaitan dengan keyakinan maupun perbuatan. d) Dari Abdullah bin Mas’ud radhiallahu 'anhu, ia berkata : “Saya mendengar Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda : “Allah memancarkan cahaya kepada orang yang mendengar hadits dari kami, yang dia hafalkan kemudian disampaikannya. Banyak orang yang menyampaikan itu lebih memadai daripada orang yang mendengar.[25]” Dan ini tidak terbatas pada hadits yang berkaitan dengan amaliyah, tetapi bersifat umum, meliputi hadits amaliyah, hukum, dan i’tiqad. Apabila masalah-masalah akidah yang ditetapkan dengan hadits-hadits ahad itu tidak wajib diimani, tentu Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam dalam masalah ini tidak menyampaikan haditsnya secara mutlak, tetapi Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam menerangkan masalah itu terbatas pada hadits yang berkaitan dengan amaliyah saja tidak lainnya. Dan pendapat yang mengatakan bahwa hadits ahad itu tidak bisa dijadikan dasar dalam hal akidah, itu merupakan pendapat bid’ah dan mengada-ada yang tidak ada dasarnya dalam agama. Dan ulama Salafus Shalih tidak pernah ada yang mengatakan demikian, bahkan hal itu tidak pernah terlintas pada mereka. Andaikata kata dalil Qath’iy yang menunjukkan bahwa hadits ahad itu tidak layak untuk masalah akidah, niscaya sudah dimengerti dan sudah dijelaskan shahabat dan ulama Salaf. Kemudian pendapat bid’ah tersebut berarti menolak beratus-ratus hadits shahih dari Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam. Maka orang yang tidak mengambil hadits ahad dalam masalah akidah, niscaya mereka menolak beberapa hadits ahad tentang akidah lainnya, seperti tentang : 1. Keistimewaan Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam melebihi semua Nabi ‘Alaihimus Salam. 2. Syafaatnya yang besar di akhirat. 3. Syafaatnya terhadap umatnya yang melakukan dosa besar. 4. Semua Mu’jizat selain Al Qur’an. 5. Proses permulaan makhluk, sifat Malaikat dan Jin, sifat Neraka dan Surga yang tidak diterangkan dalam Al Qur’an. 6. Pertanyaan Malaikat Munkar dan Nakir di alam kubur. 7. Himpitan kubur terhadap mayit. 8. Jembatan, telaga, dan timbangan amal. 9. Keimanan bahwa Allah Subhanahu wa Ta'ala menetapkan kepada semua manusia akan keselamatannya, sengsaranya, rizkinya, dan matinya ketika masih dalam kandungan ibunya. 10. Keistimewaan Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam yang dikumpulkan oleh Imam Suyuthi dalam kitab Al Khasha’is Al Kubra, seperti Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam masuk ke Surga ketika beliau masih hidup dan melihat penduduknya serta hal-hal yang disediakan untuk orang yang bertakwa. 11. Berita kepastian bahwa sepuluh shahabat dijamin masuk Surga. 12. Bagi orang yang melakukan dosa besar tidak kekal selama-lamanya dalam neraka. 13. Percaya kepada hadits shahih tentang sifat Hari Kiamat dan Padang Mahsyar yang tidak dijelaskan dalam Al Qur’an. 14. Percaya terhadap semua tanda kiamat, seperti keluarnya Imam Mahdi, keluarnya Dajjal, turunnya Nabi Isa ‘Alaihis Salam, keluarnya api, munculnya matahari dari barat, dan binatang-binatang, dan lain-lain. Kemudian semua dalil akidah, menurut mereka tidak sah dengan hadits ahad. Dalil-dalil akidah itu bukan dengan hadits ahad, tetapi dalilnya harus dengan hadits mutawatir. Akan tetapi karena sedikitnya ilmu orang yang mengingkari kehujjahan hadits ahad itu maka mereka menolak semua akidah yang berdasarkan hadits shahih[26]. Tambahan Disebutkan dalam kitab Maqaayiisu Naqdu Mutuuni As Sunnah : “Wajib bagi siapa saja yang mendengar khabar ahad yang sampai kepada Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam untuk mengikuti, mengamalkan, dan tidak boleh menyelisihinya, walaupun manusia itu tidak mesti kebenarannya dan tidak terlepas dari keraguan dan kesalahan.” Makna hadits ahad itu bisa mendatangkan ilmu dengan mengikutinya atau sebagaimana yang diibaratkan oleh para ulama ahli fiqih : (Mengamalkan) Zhanni Al Ghalib (dugaan terkuat/paling umum) itulah yang dimaksud. Karena hukum-hukum syariat itu pasti mempunyai tujuan-tujuan. Termasuk kewajiban dan perintahnya adalah Ittiba’ (mengikuti). Maka bila hal itu (mengamalkan hadits ahad, pent.) telah dilakukan berarti kita telah menunaikan apa yang diinginkan (oleh syariat, pent.). Meskipun para ulama ahli fiqih menyatakan bahwa (hadits ahad) tidak mendatangkan ilmu yang yakin (sebagaimana hadits mutawatir), akan tetapi mereka sepakat tentang wajibnya mengamalkan hadits ahad tersebut. (Maqaayiisu Naqdi Mutuuni As Sunnah, karya DR. Musyfir Gharamullah Ad Dumainiy, halaman 277). =========================================================== * (Asyratus Sa’ah/Tanda-Tanda Hari Kiamat). [1] Hadits dari segi datangnya kepada kita ada dua. Yaitu Mutawatir dan Ahad. Mutawatir adalah hadits yang diriwayatkan oleh segolongan ulama banyak yang tidak mungkin mereka berdusta mulai dari awal sanad sampai akhir. Ahad yaitu hadits selain Mutawatir. Lihat Taqrib An Nawawy. Tadrib Al Rawi 2/176, Qawaid At Tahdits halaman 146 karya Qasimi, dan Tafsir Musthalah Al Hadits halaman 18-21, Dr. Mahmud Tahhan. [2] Contohnya ulama Mu’tazilah dan ulama Mutaakhirin, seperti Muhammad Abduh, Mahmud Syaltut, Ahmad Syalabi, Abdul Karim Utsman, dan lain-lain. Lihat Al Farq Bainal Firaq halaman 180, editor Muhyidin Abdul Hamid, Fathul Bari 13/233, Qadhi Al Qudhah, Abdul Jabbar Al Hamdani, halaman 88/90 Dr. Abdul Karim Utsman, Risalah Tauhid halaman 202 M. Abduh editor M. Rasyid Ridha. Lihat sikap Mu’tazilah terhadap Sunnah Nabi halaman 92-93 oleh Abi Lubabah Husein, Kitab Masihiyah, Perbandingan Agama halaman 44 oleh Dr. Ahmad Syalabi, lihat Fatawa, Mahmud Syaltut halaman 62 yang berkata : “Para ulama sepakat bahwa hadits ahad tidak memberikan faedah terhadap akidah dan tidak boleh dijadikan dasar dalam masalah ghaib”. Dan lihat kitabnya “Islam Akidah dan Syariat” halaman 53. Lihat “Al Masih dalam Al Qur’an, Taurat, dan Injil” 539 karya Abdul Karim Khatib. [3] Lihat Syarah Al Kaukab Al Munir Fi Ushul Fiqh 2/352 karya M. bin Ahmad Al Hanbali editor Dr. Muhammad Suhaili dan Dr. Nazih Hamad. [4] Lihat Fathul Bari 13/234. [5] Lihat Syarah Aqidah Ath Thahawi karya Ali bin Ali bin Abi Izz Al Hanafi halaman 399-400 telah diedit oleh para ulama dan haditsnya telah ditakhrij oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani cetakan Maktab Islami, cetakan IV, 1391 H. [6] Lihat Mukhtashar Ash Shawwa’iq Al Mursalah ala Al Jahmiyah wa Al Mu’aththilah 2/350, karya Ibnul Qayyim diringkas oleh Muhammad bin Al Masih, diedarkan oleh Lembaga Kajian Ilmiyah dan Fatwa Riyadh dan lihat Ar Risalah Imam Syafi’i halaman 401, tahqiq Ahmad Syakir terbitan Al Muhtar Al Islamiyyah cetakan II 1399 H, dan lihat Syarah Ath Thahawi halaman 399 karya Ibnu Abil Izz. [7] Lihat Mukhtashar Ash Shawwa’iq 2/350. [8] Lihat Ittihaf Al Jamaah 1/4. [9] Lihat Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyyah 19/85. [10] Lihat Mukhtashar Ash Shawwa’iq 2/361-362. [11] Lihat Risalah Wajib Mengikuti Hadits Ahad Dalam Masalah Akidah dan Menolak Orang Yang Menentangnya, halaman 6-7. [12] Lihat An Nihayah 3/162-163. [13] Lihat Shahih Muslim 16/118. [14] Lihat Al Aqidah fii Allah, karya Umar Sulaiman Al Asyqar, cetakan II, 1969. [15] Lihat Shahih Bukhari dan Fathul Bari 13/231. [16] Lihat Al Aqidah fii Allah halaman 51. [17] Lihat Tafsir Asy Syaukhani 5/60. [18] Lihat Kewajiban Mengambil Hadits Ahad Tentang Aqidah halaman 7, karya Syaikh Al Albani. [19] Lihat Mukhtashar Ash Shawwa’iq 2/352 karya Imam Ibnul Qayyim. [20] Lihat Shahih Bukhari 13/232. [21] Lihat Shahih Bukhari 3/261. [22] Lihat Shahih Bukhari 13/241. [23] Lihat Shahih Bukhari 13/232. [24] Lihat Shahih Bukhari 13/232. [25] Lihat Musnad Ahmad, 6/96, hadits nomor 4157 tahqiq Ahmad Syakir, Imam Ahmad meriwayatkan dengan dua sanad shahih, lihat tentang hadits : “Allah memancarkan cahaya kepada orang yang mendengar kata-kataku, baik secara riwayah maupun dirayah.” Halaman 33 dan seterusnya karya Syaikh Abdul Muhsin bin Muhammad Al ‘Abbad, cetakan Al Rasyid Madinah Al Munawarah, cetakan I, 1401 H. [26] Lihat Risalah Wajib Mengambil Hadits Ahad Tentang Aqidah halaman 36-39 dan kitab Aqidah halaman 54-55 karya Umar Asyqar. Bantahan Ilmiyah Atas Kesesatan Aqidah Hizbut Tahrir Penulis: Syaikh Rabi’ bin Hadi ‘Umair Al Madkhali * -------------------------------------------------------------------------------- Al Ghazaly merasa sesak dadanya terhadap pengkhabaran (hadits) Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam, jika datang dari jalan ahad, sekalipun disebutkan di dalam kitab Shahih Al Bukhary dan Muslim. Sedikitpun dia tidak mau menggunakannya jika bertentangan dengan jalan pikirannya, meskipun semua kalangan umat Islam menerimanya. Tikaman Terhadap Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam dan As Sunnah Kedudukan Al Qur’an, Rasulullah Shalallahu’alaihi Wassallam, dan As Sunnah Allah Subhanahu wa Ta'ala telah berfirman berkaitan dengan Al Qur’an dan kedudukannya : “Segala puji bagi Allah yang telah menurunkan kepada hamba-Nya Al Kitab (Al Qur’an) dan Dia tidak mengadakan pembengkokan di dalamnya, sebagai bimbingan yang lurus untuk mengingatkan akan siksaan yang sangat pedih dari sisi Allah dan memberi berita gembira kepada orang-orang yang beriman, yang mengerjakan amal shalih, bahwa mereka akan mendapat pembalasan yang baik.” (QS. Al Kahfi : 1-2) Di tempat lain Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman tentang kondisi Al Qur’an ini : “Yang tidak datang kepadanya (Al Qur’an) kebathilan baik dari depan maupun dari belakangnya, yang diturunkan dari Yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji.” (QS. Fushilat : 42) Allah Subhanahu wa Ta'ala memberikan kedudukan yang tinggi kepada Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam, seperti yang diberitakan Al Qur’an kepada kita : Barangsiapa yang mentaati Rasul itu, sesungguhnya dia mentaati Allah. (QS. An Nisa’ : 80) “Dan barangsiapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya baginya neraka Jahanam, mereka kekal di dalamnya selama-lamanya.” (QS. Al Jin : 23) “Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah-Nya, takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa adzab yang pedih.” (QS. An Nur : 63) “Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah ia dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah.” (QS. Al Hasyr : 7) “Maka demi Rabbmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (QS. An Nisa’ : 65) Sesungguhnya jawaban orang-orang Mukmin, bila mereka dipanggil kepada Allah dan Rasul-Nya agar Rasul menghukumi (mengadili) di antara mereka, ialah ucapan : “Kami mendengar dan kami patuh.” Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung. (QS. An Nur : 51) Allah Subhanahu wa Ta'ala juga berfirman tentang suatu kaum yang sakit hati dan jiwanya : Dan mereka berkata : “Kami telah beriman kepada Allah dan Rasul, dan kami mentaati (keduanya).” Kemudian sebagian dari mereka berpaling sesudah itu, sekali-kali mereka itu bukanlah orang-orang yang beriman. Dan apabila mereka dipanggil kepada Allah dan Rasul-Nya, agar Rasul menghukum (mengadili di antara mereka), tiba-tiba sebagian dari mereka menolak untuk datang. Tetapi jika keputusan itu untuk (kemaslahatan) mereka, maka mereka datang kepada Rasul dengan patuh. Apakah (ketidakdatangan mereka itu karena) dalam hati mereka ada penyakit atau (karena) mereka ragu-ragu ataukah (karena) takut kalau-kalau Allah dan Rasul-Nya berlaku dhalim kepada mereka? Sebenarnya mereka itulah orang-orang yang dhalim. (QS. An Nur : 47-50) Nash-nash yang serupa dengan ayat-ayat ini sangat banyak, tersebar di beberapa tempat di dalam Al Qur’an. Intinya memberi kedudukan yang agung kepada Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam, sehingga pengarahan-pengarahan beliau memiliki nilai yang tinggi. Sunnah beliau yang suci juga mempunyai kedudukan yang tinggi yang mengharuskan ketaatan kepada beliau dan membenarkan pengabaran-pengabarannya, setaraf dengan Al Qur’an. Dari sinilah Muslimin tahu kedudukan sunnah Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam ini yang kemudian menyusupkan rasa cinta, pengagungan, ketaatan, pembenaran, dan kepatuhan ke dalam lubuk hati mereka. Dari titik tolak inilah mereka berusaha semaksimal mungkin untuk menjaga dan melindungi sunnah dari penyimpangan. Untuk itu mereka mendokumentasikannya dalam berbagai kitab agar nash-nashnya tetap terjaga, mereka menyusun rijalnya dan menjelaskan keadaan mereka secara mendetail, entah dari sisi ‘adalah (kelurusan) maupun jarh (kecacatan). Sistem dokumentasi seperti ini tidak pernah didapati di bangsa manapun di dunia ini. Mereka juga mengarang berjilid-jilid kitab dalam berbagai disiplin limu dan medan yang luas yang tidak pernah ada bandingannya, bahkan mirip pun tidak sama sekali. Dengan adanya ikatan rasa orang-orang Muslim terhadap sunnah, khususnya muhadditsin (ahli hadits), dan yang tampil di barisan terdepan adalah para shahabat, merekapun bangkit menyusuri perjalanan panjang ke berbagai penjuru dunia Islam. Tidak ada penelusuran untuk kepentingan ilmu yang lebih hebat seperti yang mereka lakukan. Bahkan adakalanya di antara mereka melakukan perjalanan sebulan atau lebih hanya untuk menelusuri satu hadits saja, agar dia benar-benar merasa puas tentang keshahihan hadits tersebut. Bukankah semua ini menunjukkan kedudukan yang spesifik bagi sunnah Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam? Meskipun begitu, sunnah yang suci ini tidak pernah sepi dari musuh, dari dalam maupun dari luar, di tempat manapun dan kapanpun. Saat sekarang ini contohnya, serangan para orientalis terhadap Sunnah Nabawi sangat gencar. Dan serangan mereka ini masih ditopang lagi oleh sekumpulan orang yang mengenakan jubah Islam, namun sebenarnya mereka memendam hati serigala yang siap mencaplok Islam dan Sunnah yang suci. Benar-benar sangat kita sayangkan. Dalam situasi yang sangat rawan ini, Muhammad Al Ghazaly justru menggabungkan dirinya dalam barisan orang-orang yang memusuhi Sunnah. Bahkan dia menjadi pengibar bendera perang terhadap Sunnah. Buku-buku dan tulisannya bisa diibaratkan (sebagai) sekolah yang menjadi markas setiap orang yang mendengki Islam dan Sunnah Nabawi yang suci. Dalam berbagai buku dan pernyataannya, seringkali dia menyangsikan sunnah, apalagi sikapnya terhadap kabar ahad. Menurutnya, hal ini merupakan sikap yang layak. Karangan-karangannya yang muncul akhir-akhir ini mengandung serangan yang gencar dan tuduhan yang amat berbahaya terhadap hadits-hadits Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam yang shahih. Serangan ini juga dia tujukan terhadap orang-orang yang hendak berpegang teguh kepada hadits-hadits tersebut. Memang tidak dipungkiri, ada beberapa buku dan karangannya yang membela Islam. Tetapi kenyataannya, dia sendiri yang merobohkan bangunan Islam, karena adanya serangan-serangan ini. Sebab tidak ada Islam kecuali ada Sunnah. Jika bangunan sunnah diusik dan kedamaiannya diganggu, seperti oleh serangan-serangan Al Ghazaly ini, maka lama-kelamaan bangunannya bisa keropos tak berisi dan roboh. Kami tidak tahu persis, apakah Al Ghazaly juga mengetahui dampak dari tindakannya ini ataukah tidak? Di samping itu, apakah para pendukung dan orang-orang yang menawarkan pemikirannya juga mengetahui dampak ini? Semoga ada orang yang bertanya, latar belakang apa yang mendorong Al Ghazaly bersikap seperti itu terhadap Sunnah, juga orang-orang yang berdiri di belakang punggungnya? Kami yakin, sebabnya adalah keterbatasan pengetahuannya tentang makna-makna Sunnah. Sehingga dengan keterbatasan ini dia beranggapan, bahwa banyak hadits yang bertentangan dengan Al Qur’an atau bertentangan dengan penalaran. Padahal penalaran ini bisa saja datang dari otak seorang pengikut Jahmiyah, Mu’tazilah, Orientalis, maupun orang Eropa yang kafir. Kemudian dia sendiri tidak mau meneliti dan menelaah perkataan para Imam Hadits dan kritikus, yang dengan pemahaman dan pengetahuan dari Allah Subhanahu wa Ta'ala, mereka bisa mengkompromikan pemahaman antara hadits dan ayat, antara hadits dan hadits. Sebab tidak jarang antara keduanya tampak bertentangan di mata orang yang tergesa-gesa mengambil kesimpulan. Sehingga hal ini bisa menimbulkan ketidaksenangan terhadap hadits-hadits yang menyerempet perselisihan dengan hadits lain. Kalau dia ingin menyembuhkan kesalahannya, maka dia tidak boleh mengacu kepada kitab-kitab yang ditebari hadits-hadits maudlu’ dan cacat. Padahal para Ahli Hadits telah berusaha semaksimal mungkin mengkritik hadits-hadits maudlu’ tersebut, baik dari sisi sanad maupun matannya. Kemudian mereka memilah-milahnya dalam berbagai kitab khusus, seperti Al Maudhu’at karangan Ibnul Jauzy, Al Ali’u Al Mashnu’ah karangan As Suyuthy, Al Fawa’id Al Majmu’ah karangan Asy Syaukany, Tanzihusy Syari’ah karangan Ibnu Iraq, Al Ilal karangan Ibnu Abi Hatim, Al Ilal karangan Ad Daruquthny, Al Ilal Al Mutnahiyah karangan Ibnul Jauzy. Sesudah itu dia bisa mengambil dari kitab manapun yang diyakini dan bahkan dia bisa menghampiri kitab-kitab yang menghimpun peninggalan Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam, yaitu kitab-kitab Sunnah yang mulia, yang paling pokok adalah Shahihain (Shahih Al Bukhary dan Shahih Muslim). Umat Islam menerima kedua kitab ini dan mengagungkannya. Dengan sejujurnya mereka mengatakan bahwa keduanya merupakan kitab yang paling shahih setelah Kitab Allah Subhanahu wa Ta'ala. Namun Al Ghazaly memilih-milih dari hadits-hadits di dalamnya yang tidak sesuai dengan jalan pikirannya. Sehingga hal ini membuka pintu untuk melemparkan serangan dan celaan. Mau tidak mau, akhirnya ini juga mempengaruhi orang lain untuk menyerang dan mencela. Setiap Muslim tentu menyayangkan karangan-karangan Al Ghazaly yang dilihat dan dibacanya. Karena karangan-karangannya itu menyerupai granat yang dilemparkan kepada setiap orang yang berenang di kolam Sunnah Nabawi yang suci atau di sekitar akidah yang benar dan berdasarkan beratus-ratus keterangan yang akurat dari Kitab Allah serta Sunnah Rasul-Nya, yang ditopang oleh ijma’ shahabat dan orang-orang yang mengikuti jalan mereka, lalu dijadikan pegangan oleh ummat, dari generasi ke lain generasi hingga saat ini. Setelah Syaikh Rabi’ memaparkan beberapa contoh serangan Al Ghazaly terhadap Sunnah Nabawi dan orang-orang yang berpegang kepadanya, selanjutnya beliau menyatakan, beradabkah Anda terhadap Allah dan Rasul-Nya jika Anda selalu berucap tentang Sunnah Nabawi : “Ini hadits yang tertolak. Fulan menolak hadits yang itu. Ini pengkabaran yang bodoh. Tak seorangpun dari para imam yang empat melainkan pernah menolak hadits shahih?” Apakah dalam ucapan-ucapan seperti ini terkandung ajakan untuk mengikuti Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam dan menghormati Sunnah beliau? Ataukah ini merupakan peperangan terhadap Sunnah, dengan pura-pura melindungi para Imam? Padahal para imam sendiri terlepas dari permusuhan terhadap Sunnah ini. Bahkan mereka merupakan pemuka kaum Muslimin yang sangat menghormati Sunnah dan mengajak agar berhujjah kepadanya dalam masalah akidah, ibadah, penetapan halal dan haram. Bahkan banyak di antara mereka yang juga berhujjah dengan hadits-hadits mursal kalau diperlukan dalam masalah-masalah amaliyah dan memprioritaskannya daripada bersandar kepada pendapat seseorang ataupun qiyas. Mereka menyuruh meninggalkan pendapatnya apabila bertentangan dengan nash Kitab maupun Sunnah Nabawi. Inilah Imam Abu Hanifah yang pernah berkata : “Apabila ada hadits shahih, maka itulah madzhabku.” (Al Hasyiyah, Ibnu Abidin, 1/63) Dia juga berkata : “Jika saya mengucapkan kata-kata yang bertentangan dengan Kitab Allah atau pengkhabaran Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam, maka tinggalkanlah kata-kataku.” (Al Aiqazh halaman 50) Imam Syafi'i pernah berkata : “Seseorang bisa dilihat apakah dia itu berjalan pada Sunnah Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam ataukah menyimpang darinya. Boleh jadi aku pernah mengucapkan kata-kata atau aku mengacu kepada suatu dasar yang berasal dari Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam, yang ternyata berbeda dengan kata-kataku. Maka yang berlaku adalah ucapan Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam, karena itu pula yang menjadi pendapatku.” (Tarikhu Dimasqa, 15/1-2) Dia juga berkata : “Kaum Muslimin telah sepakat bahwa jika seseorang sudah memahami Sunnah dari Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam secara jelas, maka dia tidak boleh mengacu kepada pendapat seseorang.” (I’lamul Muwaqqi’in 2/361) Dia juga berkata : “Apabila ada hadits shahih, maka itulah madzhabku.” (Al Majmu’, An Nawawy, 1/63) Dia juga berkata : “Kamu sekalian lebih tahu tentang hadits dan rijalul hadits daripada aku. Apabila ada hadits shahih, maka ajarkanlah kepadaku, siapapun orangnya, baik dari Kufah, Bashrar, maupun Syam, agar aku bisa mengikutinya kalau ia memang benar-benar shahih.” (Adabusy Syafi’y, Ibnu Abi Hatim, halaman 94-95) Imam Ahmad pernah berkata : “Barangsiapa yang menolak hadits Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam, maka dia berada di ambang kehancuran.” Kami katakan : “Adakah penghormatan yang lebih agung dari gambaran pernyataan para imam ini? Apakah jika orang-orang Salaf (terdahulu) berpegang kepada tali Sunnah dan mengagungkannya, lalu mereka menjadi meremehkan dan mencela para imam? Sama sekali tidak. Siapa yang menyombongkan diri terhadap Sunnah, berarti dia menyombongkan diri di hadapan para Imam, Nabi mereka yang mulia, dan Sunnah beliau yang suci.” Kebencian Al Ghazaly Terhadap Khabar Ahad Al Ghazaly merasa sesak dadanya terhadap pengkhabaran (hadits) Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam, jika datang dari jalan ahad, sekalipun disebutkan di dalam kitab Shahih Al Bukhary dan Muslim. Sedikitpun dia tidak mau menggunakannya jika bertentangan dengan jalan pikirannya, meskipun semua kalangan umat Islam menerimanya. Dengan cara ini berarti dia mendukung ahli bid’ah dan orang-orang sesat, serta meninggalkan jumhur ulama dari kalangan Salaf maupun Khalaf. Jumhur ulama berpendapat, jika kabar ahad diterima oleh umat sebagai pembenaran dan juga harus diamalkan, berarti ia merupakan ilmu yang bermanfaat. Di antara Imam terkenal yang juga sependapat dengan pemikiran ini adalah : - As Sarakhsy dari madzhab Hanafy. - Al Qadhy Abdul Wahhab dari madzhab Maliki. - Syaikh Abu Hamid Al Isfirayainy. - Al Qadhy Abu Thayyib Ath Thabary. - Syaikh Abu Ishaq As Syirazy dan Sulain Ar Razy dari madzhab Syafi’i. - Abu Abdullah bin Hamid, Al Qadhy Abu Ya’la Abul Khaththab, dan lain-lainnya dari madzhab Hanbaly. Dari kalangan Asy’ariyah dan ahli kalam (teologi) juga banyak yang berpendapat sama, seperti Abu Ishaq Al Isfirayainy, Abu Bakar bin Faurak, Abu Manshur At Tamimy, Ibnus Sam’any, Abu Hasyim Al Jaba’y, dan Abdullah Al Bashry. Pendapat ini juga dikuatkan oleh Ibnus Shalah, Ibnu Taimiyyah, Ibnu Katsir, Al Balqainy, Al Hafidh Ibnu Hajar, As Suyuthy, dan Ibnu Hazm. Di antara kabar ahad yang memberi manfaat keilmuan adalah pengkhabaran yang disertai berbagai perbandingan. Yang membenarkan pendapat ini adalah Imamul Haramain, Abu Hamid Al Ghazaly, Al Amidy, Ibnul Hajib dan para pengikutnya. Yang juga termasuk khabar ahad adalah pengkhabaran yang disebutkan dari beberapa jalan. Jika tidak ada cacat dan cela di dalamnya, berarti ia memberi manfaat ilmu dalam ilmu hadits. Mereka itu adalah Jumhur Ulama, baik dari kalangan pakar ushul, fiqh, maupun teologi. Mereka telah sepakat bahwa jika khabar ahad diterima oleh umat atau jika dibarengi perbandingan-perbandingan atau disebutkan dari beberapa jalan, berarti ia memberi manfaat ilmu(2). Banyak sekali pengkhabaran di dalam Shahih Bukhari dan Muslim yang mencakup tiga kategori ini. Anehnya kami tidak mendapatkan Al Ghazaly menyebutkan tiga jenis ini dalam serangan-serangannya terhadap khabar ahad. Dia tidak peduli terhadap pengkhabaran-pengkhabaran di dalam Shahih Bukhari dan Muslim yang diterima oleh semua lapisan umat. Adapun hadits yang bertentangan dengan keinginannya, maka dia langsung memukulnya seperti pukulan yang dilayangkan ke onta liar, dicela, dan rawi-rawinya dijelekkan. Ini termasuk cara aneh yang dilakukan Al Ghazaly di antara orang-orang yang menolak khabar ahad dari kalangan ahli bid’ah. Bahkan dia juga mengingkari sekian banyak hadits di dalam Shahihain, hanya karena pertimbangan pendapatnya tentang khabar ahad, baik yang berkaitan dengan masalah akidah maupun masalah amal. Dia mengait-ngaitkan kepada ulama sesuatu yang tidak pernah mereka katakan dan juga bukan merupakan keyakinan mereka. Kita ambil contoh perkataannya : “Hadits-hadits shahih yang berasal dari riwayat ahad hanya akan menghasilkan pengetahuan yang dikira-kira, bukan pengetahuan yang meyakinkan. Para ulama kita telah sepakat untuk mengamalkannya dalam cabang-cabang syariat. Saya melihat hanya sedikit dari golongan Zhahiriyah dan madzhab Hanbaly yang mengamalkan hadits-hadits ahad dalam masalah-masalah yang konkrit. Namun pendapat ini tertolak. Bagaimanapun keadaannya, akidah kami berlandaskan kepada nash-nash yang mutawatir, baik dari sisi lafadh maupun maknanya.” (Ath Thariq Min Huna halaman 62) Al Ghazaly juga berkata : “Kesalahan mencolok yang kami perhatikan tentang manhaj Salafiyah ialah bermula dari tersebarnya hadits-hadits dlaif. Sebelum itu juga sudah menyebar berbagai pendapat yang tidak pernah ada di lingkungan fuqaha terdahulu, bahwa hadits ahad bisa menghasilkan ilmu yang meyakinkan, seperti yang terjadi pada hadits mutawatir. Seseorang yang berpegang kepada hadits ahad pernah berkata kepada saya, bahwa seorang guru yang sendirian juga bisa dipercaya ilmunya. Seorang duta besar juga bisa dipercaya untuk memberitakan tentang negaranya, meskipun dia sendirian. Dapat saya katakan bahwa hadits yang dinukil melalui seseorang tidak bisa disamakan dengan peristiwa kehidupan yang engkau sebutkan itu. Kalaupun kami hendak mendiskusikan bahwa keduanya bisa diserupakan dari segala sisi, toh hasil yang meyakinkan tidak bisa muncul dari peristiwa-peristiwa tersebut. Bisa saja seorang guru melakukan kesalahan, lalu dia meralatnya sendiri atau orang lain yang meralatnya. Seorang duta besar selalu diawasi pemerintahnya dan dia bisa ditarik jika melampaui batas kewajaran. Begitu pula berita yang dikirimkan wartawan meskipun disertai perbandingan-perbandingan yang tampaknya meyakinkan.” (As Sunnah An Nabawiyyah halaman 65) Perhatikan bagaimana Al Ghazaly mengkait-kaitkan kepada para ulama sesuatu yang tidak pernah mereka ucapkan. Siapakah para ulama yang menyepakati pengamalan khabar ahad hanya dalam cabang-cabang syariat? Apakah pendapat yang tidak berkembang di kalangan fuqaha terdahulu? Yang jelas diketahui dan biasa berlaku di kalangan mereka adalah kecintaan terhadap Sunnah Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam, pengagungannya, dan berhujjah dengannya dalam segala urusan. Mereka tidak berdasarkan kepada madzhab Jahmiyyah dan mengekor di belakang golongan Mu’tazilah yang berlebih-lebihan serta yang selalu melecehkan Sunnah beliau Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam. Perhatikan pula bagaimana Al Ghazaly lebih memprioritaskan jenis-jenis pengkhabaran yang biasanya para rawi berasal dari kalangan orang-orang kafir, fasik, atau yang tidak tahu pengkhabaran-pengkhabaran Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam. Sebaliknya, dia meremehkan periwayatan dari jalan orang-orang Mukmin yang mukhlis, dari para penghapal yang terpecaya dan lurus, yang menyebutkan beberapa kandungan dan yang merasa tidak tahu kandungan yang lain tentang Sunnah beliau, karena ketakutan mereka kepada Allah. Mereka ini juga sangat takut terhadap ancaman yang keras jika mereka berdusta terhadap beliau. Tekad mereka untuk menjaga Sunnah beliau lebih besar daripada tekad mereka untuk menjaga hidupnya sendiri. Al Ghazaly berkata : “Saya tegaskan sekali lagi, bahwa tidak seharusnya hadits-hadits ahad mengacaukan apa yang mesti dijaga dari Kitab Allah dan Sunnah Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam, atau ia harus menampakkan hakikat-hakikat agama yang justru mengundang tuduhan.” Kami katakan : “Logika macam apa ini? Adakah telinga orang-orang Mukmin pernah mendengar pelecehan dan kelancangan terhadap Sunnah Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam yang menjelaskan, menguraikan, dan menguatkan Al Qur’an bisa mengacaukan isi Al Qur’an? Yang justru mengancam Al Qur’an dan As Sunnah yang seharusnya dijaga adalah orang yang berkata seperti itu dan konco-konco-nya dari kalangan orang-orang sesat, baik dahulu maupun sekarang!” Dia juga berkata : “Ada baiknya kita mengetahui bahwa yang wajib tidak bisa ditetapkan kecuali berdasarkan dalil yang konkrit. Yang haram juga tidak bisa ditetapkan kecuali dengan dalil yang konkrit. Sedangkan dalil yang berdasarkan perkiraan mempunyai pengertian yang lebih rendah lagi.” Dapat kami katakan : “Apa bukti yang mendukung kaidah yang bisa mendorong manusia untuk mempercayainya secara membabi buta, sehingga bisa-bisa mereka tidak mau menentangnya? Apakah kebaikan kaidah yang menganggap Sunnah Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam tidak layak untuk menetapkan yang halal dan haram serta menetapkan yang wajib? Sudah sering dia menelanjangi dan mengacaukan Sunnah Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam, sementara dengan cara ini dia menimbulkan dugaan orang lain bahwa dia adalah pembela Islam dan mengikuti langkah para ulama dan fuqaha. Padahal kedua belah pihak seperti yang tecermin dalam sebuah syair : Dia pergi ke timur dan aku ke barat Alangkah jauh jarak antara timur dan barat Bila pembaca masih ingat uraian sebelum ini tentang jumhur ulama Salaf dan Khalaf dari kalangan pakar ushul, fiqh, dan teologi, tentu dia memperoleh kejelasan tentang ucapan Al Ghazaly ini, bahwa itu hanya sekedar khayalan belaka. Kesepakatan ulama seperti yang tertuang dalam pernyataannya (Al Ghazaly) ternyata bukan ulama yang lurus dan bukan orang-orang yang mendapat kepercayaan umat, karena mereka adalah ulama golongan Jahmiyyah dan Mu’tazilah yang terpengaruh oleh metode filosof Eropa, serta tokoh-tokoh ilmu logika, seperti Jamaluddin Al Afghany, Muhammad Abduh dan para pengikutnya. =========================================================== * Kasyfu Mauqifi Al Ghazaly/Membela Sunnah Nabawy, Syaikh Rabi’ bin Hadi Al Madkhaly, Maktabah Ibnul Qayyim, Madinah. 1. Lihat uraian masalah ini dalam buku An Nukat, Ibnu Hajar 1/371-379. Majmu’ Fatawa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah 18/40-48 dan lain-lain.

Ta'awwun Pembangunan Asrama Putra Ponpes as Sunnah Junrejo Batu

السلام عليكم ورحمة الله وبركاته

الحمد لله رب العالمين والصلاة والسلام على رسول لله وعلى آله وصحبه اجمعين. أما بعد

Dengan berjalan nya waktu, alhamdulilah jumlah santri semakin bertambah banyak dan dengan ini menuntut kita dari panitia untuk menambah sarana dan prasarana bagi santri terutama Asrama ( untuk tempat tinggal mereka ).

Oleh karena itu kami menghimbau segenap kaum muslimin untuk ikut berdo'a dan berta'awun dalam program Pembangunan Asrama Putra Tahap 1 dari 6 Tahap yang direncanakan insyaallah.

Adapun kebutuhan anggaran tahap awal untuk pembangunan Tahap 1 Kurang Lebih sebesar Rp. 406.000.000,-

Dan juga kami mengajak kaum muslimin untuk berlomba-lomba bershadaqah jariyah dengan mengharap ridho Allah Subhanahu wa Ta'ala.

Bagi yang ingin bershadaqah jariyah dalam bentuk uang bisa ditransfer melalui:

Rekening Ta'awun Pembangunan Ponpes As-Sunnah Junrejo Batu

BCA: 8160790912
MANDIRI: 144-00-1271599-8
a/n A. Ruzano Sjofka

Dan dimohon konfirmasi setelah ada pengiriman ke Abu Abdillah Fauzan :081252258108

Bagi yang ingin bershodaqoh jariyah berupa Uang Tunai atau Material Bangunan serta RAB secara detail bisa langsung menghubungi panitia:
Abu Ammar Lutfi Bajuber 081233240961
Abu Abdillah Fauzan 081252258108
Abu Mush'ab Faishol 081334415668

Atas do'a dan ta'awun antum semua kami ucapkan Jazaakumullahu khairan wa Baarakallahu fiikum

والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته

Mengetahui :
Asatidzah Pembina Ponpes As-sunnah :
▪Al Ustadz Usamah bin Faisol Mahri
▪Al Ustadz Ahmad Khodim
▪Al Ustadz Abdusamad Bawazir

Panitia Pembangunan Ponpes As-sunnah Junrejo Batu