Home »
Manhaj
»
Buku "Aku Melawan Teroris" Sebuah Kedustaan Atas Nama Ulama Ahlussunnah
Buku "Aku Melawan Teroris" Sebuah Kedustaan Atas Nama Ulama Ahlussunnah
Kamis, 30 Mei 2013
Buku "Aku Melawan
Teroris"
Sebuah Kedustaan Atas Nama Ulama Ahlussunnah
Penulis: Al
Ustadz Abu Hamzah Yusuf Al Atsary
Allah Subhanahu
wa Ta'ala telah mengutus Nabi-Nya Shallallahu 'alaihi wa sallam dengan membawa
misi perbaikan alam dan menegakkan kemaslahatan hamba, seperti beliau nyatakan
dalam sabdanya:
إِنَّهُ لَمْ
يَكُنْ نَبِيٌّ قَبْلِي إِلاَّ كَانَ حَقًّ عَلَيْهِ أَنْ يَدُلَّ أُمَّتَهُ عَلَى
خَيْرِ ماَ يَعْلَمُهُ لَهُمْ وَيُنْذِرَهُمْ شَرَّ ماَ يَعْلَمُهُ
لَهُمْ
“Sesungguhnya tak
ada seorang nabi pun sebelumku kecuali menjadi hak atasnya untuk menunjukkan
umatnya pada kebaikan yang diketahuinya untuk mereka dan memperingatkan dari
kejelekan yang diketahuinya untuk mereka.” (HR. Muslim dalam Shahih-nya, Kitabul
Imarah no. 1844)
Tak diragukan
bahwa para Salaf, yakni para shahabat, tabi’in, dan tabi’ut tabi’in adalah
orang- orang terdepan dalam meraih kemaslahatan dan menghindar dari segala
kerusakan. Hal ini pulalah yang kemudian mereka serukan sebagai suatu manhaj
yang dianut. Maka, Manhaj Salaf adalah dakwah Al-Haq, dakwah Islam, di mana
Islam meliputi seluruh aspek kehidupan. Seruannya datang untuk mengeluarkan
manusia dari gelapnya syirik menuju cahaya tauhid, dari kerancuan dan bid’ah
menuju kesatuan sunnah dan aqidah. Sama sekali tidak berdiri di atas hawa nafsu
dan ra‘yu (logika), akan tetapi di atas apa yang telah Allah tetapkan. (Usus
Manhaj As-Salaf fi Da’wati Ilallah, oleh Asy-Syaikh Fawwaz As-Suhaimi
rahimahullah hal. 98)
Manhaj Salafush
Shalih Manhaj Kebaikan dan Kebenaran
Mengikuti Manhaj
Salafush Shalih dalam memahami agama adalah hal yang sangat terpuji dan sikap
yang paling benar. Bagaimana tidak, sebab manhaj ini bertolak dari Salaful Ummah
(umat terdahulu) dari kalangan shahabat dan tabi’in yang telah mendapatkan
jaminan kebaikan dan kebenaran. Karena itu, siapapun yang berjalan di atas
manhaj ini dan mengikutinya dengan baik, tentu akan mendapatkan jaminan
berharga. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
وَالسَّابِقُونَ
الأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالأَنْصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُمْ
بِإِحْسَانٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ
تَجْرِي تَحْتَهَا الأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا ذَلِكَ الْفَوْزُ
الْعَظِيمُ
“Orang-orang yang
terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang Muhajirin
dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada
mereka dan merekapun ridha kepada Allah. Dan Allah menyediakan bagi mereka
surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya; mereka kekal di dalamnya
selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar.” (At-Taubah:
100)
Al-Imam Ibnu
Katsir rahimahullah berkata, “Allah Subhanahu wa Ta'ala mengabarkan tentang
keridhaan-Nya terhadap orang-orang terdahulu dari kalangan Muhajirin dan Anshar
serta orang- orang yang mengikuti mereka dengan baik. Juga (Allah mengabarkan)
keridhaan mereka terhadap (Allah) atas apa yang Allah janjikan untuk mereka
berupa jannah yang dipenuhi kenikmatan-kenikmatan yang abadi.” (Tafsir
Al-Qur’anul Azhim, 2/404)
Para pembaca,
ketika berbicara manhaj Salafus Shalih maka sejatinya kita berbicara tentang
gambaran Islam yang murni dan bersih, yang Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam
dan para shahabatnya berada di atasnya. Maka ketika menyerukan manhaj Salaf,
berarti kita menyerukan untuk berpegang teguh dengan manhaj Islam yang lurus
yang mereka (para pendahulu) telah menempuhnya, bukan ajakan untuk taqlid
terhadap pribadi tertentu sebab tidak ada yang patut diikuti (secara mutlak)
kecuali Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata, “Tidak ada cela bagi siapa yang menampakkan
manhaj Salaf dan menisbatkan diri kepadanya, bahkan wajib hal itu diterima
secara sepakat karena sesungguhnya manhaj Salaf tidak ada di dalamnya kecuali
kebenaran.” (Majmu’ul Fatawa, 4/149 diambil dari Irsyadul Bariyyah hal. 20 dan
24)
Asy-Syaikh Shalih
bin Sa’d As-Suhaimi rahimahullah mengatakan, “Dari sinilah, komitmen yang paling
pantas dan abadi hanyalah kepada manhaj Islam dengan apa yang telah Allah
syariatkan untuk kita… Komitmen bukanlah terhadap pribadi-pribadi tertentu,
lembaga-lembaga, ataupun jamaah-jamaah yang selalu (merupakan) tempatnya salah
dan benar.” (Manhaj As-Salaf fil ‘Aqidah hal. 45)
Oleh karena itu
manhaj Salafus shalih bukanlah manhaj yang beragam warna sehingga bisa
berubah-ubah manakala salah satunya dibutuhkan. Misalnya dalam masalah fiqh dan
tauhid mengikuti para ulama yang menempuh manhaj Salaf, dalam hal politik
mengikuti tokoh-tokoh politik dengan alasan mereka lebih paham perpolitikan,
dalam bidang jihad bersama dengan tokoh-tokoh yang diistilahkan dengan “ulama
mujahid”, meski tokoh-tokoh tersebut tidak menempuh manhaj Salafus
Shalih.
Asy-Syaikh
Nashiruddin Al-Albani rahimahullah menyatakan, “Seorang muslim yang bertumpu
pada Al-Kitab dan As-Sunnah tidak akan dapat berwarna-warni secara mutlak.
Adapun muslim yang bertumpu pada jamaah atau kelompok hizbiyyah –meski
(menamakan dirinya) Islam– akan memaksanya sehingga ia harus banyak warna dengan
dalih bahwa itu adalah ijtihad dan perubahan.” (Fatawa fi Al-Jama’at wal-Ahzab
Al-Islamiyyah hal. 25)
Aliran-aliran
Sesat Mengklaim sebagai Ahlus Sunnah
Menjadi kebiasaan
ahli bid’ah dan ahli batil, ketika mereka menebar racun kesesatannya akan
menampakkan kedok kebaikan, menebeng di balik gambaran keislaman yang benar,
mengaku sebagai pengikut Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan
para shahabatnya. Sejarah membuktikan, mereka acap menggunakan istilah Ahlus
Sunnah wal Jamaah, pengikut manhaj Salafus Shalih, padahal sejatinya
bukan.
Asy-Syaikh ‘Abbas
bin Manshur As-Saksaki rahimahullah berkata, “Seluruh aliran sesat telah
menamakan dirinya dengan Ahlus Sunnah wal Jamaah padahal tidak sesuai kenyataan.
(Namun itu) hanya berupa kedengkian dan kedustaan atasnya, serta penisbatan
kepada yang bukan aqidahnya.” (Al-Burhan fi Ma’rifati Aqa’idi Ahlil Adyan hal.
61)
Bagaimanapun
usaha penyesatan yang dilakukan ahlil bid’ah sejak dulu meski bersembunyi di
balik nama yang mulia, hakekat mereka tetap nampak. Sifat yang kentara dalam
diri mereka adalah menolak untuk menempuh jalan kaum Salaf. Sementara Ahlus
Sunnah wal Jamaah adalah para pengikut manhaj Salafus Shalih dalam hal aqidah,
ucapan, ataupun amalan.
Al-Imam Ahmad
rahimahullah mengatakan, “Pokok-pokok As-Sunnah bagi kami adalah berpegang teguh
dengan apa yang ada di atas para shahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam
serta mencontoh mereka.” (Ushul As-Sunnah hal. 35)
Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyyah rahimahullah menerangkan tentang jalan yang ditempuh Ahlus
Sunnah. Beliau berkata, “Jalan yang ditempuh Ahlus Sunnah adalah mengikuti
atsar-atsar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam lahir dan batin, mengikuti
jalan orang-orang terdahulu dari kalangan Muhajirin dan Anshar serta mengikuti
wasiat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam yang telah bersabda: ‘Hendaklah kalian
berpegang teguh dengan Sunnahku dan Sunnah Al-Khulafa Ar-Rasyidin yang mendapat
petunjuk setelahku. Peganglah ia dan gigitlah dengan gigi geraham…’.”
(Al-’Aqidah Al-Wasithiyyah dengan syarahnya hal. 179-180, cetakan Darul
Fikr)
Bantahan terhadap
Buku Aku Melawan Teroris
Nebeng-menebeng
adalah gaya yang disukai banyak orang. Pasalnya, di samping mudah, juga praktis
dan gratis. Namun hal itu sangat berbahaya manakala ahli bid’ah dan ahli batil
yang memperagakannya. Tentu, mengakibatkan banyak umat akan tertipu. Di kala
manhaj Salafus Shalih mulai kembali dikenal umat dengan karunia Allah lalu
dengan keutamaan para ulama Ahlus Sunnah yang senantiasa menyerukan untuk
kembali kepada dakwah Islam yang haq, maka untuk menjauhkan umat dari As-Sunnah
dan para ulamanya dan menyebarkan kerancuan di tengah-tengah mereka, tak sedikit
dari para ahli bid’ah yang sembunyi di balik manhaj yang benar, manhaj Salafus
Shalih.
Sebut saja Imam
Samudra, salah seorang pelaku peledakan bom jahat Bali yang mengguncang
Indonesia di antara rentetan peristiwa bom-bom lainnya di tanah air. Dengan
ulahnya itu isu terorisme pun kian santer. Lewat buku yang ditulisnya yang
berjudul Aku Melawan Teroris1, dia mengaku berpola keislaman menurut manhaj
Salafus Shalih, dan bahwa tindakannya pun atas dukungan para ulama yang
bermanhaj Salafus Shalih.
Inilah terutama
yang menjadi sorotan saya terhadap isi buku tersebut, di samping tindakan-
tindakannya yang dia nisbatkan pada para Salafus Shalih. Tentunya ini semua
sebagai upaya nasehat bagi yang bersangkutan dan Al-Bayan (penjelasan) kepada
umat bahwa cara yang ditempuhnya jauh dari manhaj Salafus Shalih dan tidak pula
berjalan di atas fatwa para ulama yang menempuh manhaj Salaf. Wallahul
musta’an.
Imam Samudra
menyebutkan sejumlah tokoh-tokoh yang menurutnya menempuh manhaj Salaf seperti
Salman bin Fahd Al-‘Audah, Dr. Safar Al-Hawali, Dr. Aiman Azh-Zhawahiri,
Sulaiman Abu Ghaits, Dr. Abdullah Azzam, Usamah bin Ladin, serta Maulani Mullah
Umar. Kemudian mereka dia istilahkan dengan ulama mujahid. (Aku Melawan Teroris,
hal. 64)
Bantahan
Tokoh-tokoh yang
disebutkan Imam Samudra di atas tidaklah berjalan di atas manhaj Salaf. Bahkan
perjalanan hidup mereka dipenuhi catatan hitam yang menunjukkan mereka jauh dari
manhaj Salaf. Asy-Syaikh Ibnu Baz, dan Asy-Syaikh Al-Albani serta Asy-Syaikh
Al-‘Utsaimin, Asy- Syaikh Muqbil rahimahumullah, Asy-Syaikh Rabi’ Al-Madkhali,
serta para ulama yang berjalan di atas manhaj Salafus Shalih Ahlus Sunnah wal
Jama’ah –dan dia (Imam Samudra) sendiri juga menyatakan demikian– banyak
menjelaskan tentang kesesatan tokoh-tokoh tersebut dan jauhnya dari manhaj
Salaf. Lalu bagaimana dia gabungkan tokoh-tokoh itu dengan para ulama bermanhaj
Salaf?
Tak ada hubungan
antara tokoh-tokoh itu dengan para ulama Ahlus Sunnah. Bahkan semua orang tahu
bahwa antara mereka berbeda dalam hal manhaj (metodologi). Tokoh-tokoh itu
berideologikan Quthbiyyah, Sururiyyah, Ikhwaniyyah, dan Kharijiyyah. Hal itu
terbukti dengan sejumlah aksi-aksi dan tulisan-tulisan tokoh-tokoh tersebut yang
dipenuhi dengan penyimpangan dan pemikiran yang menyesatkan. Cukuplah bantahan
Asy-Syaikh Rabi’, Asy-Syaikh Al-Albani, Asy-Syaikh Muqbil dan yang lainnya
menjadi saksi. Bahkan ketika beliau (Asy-Syaikh Muqbil) ditanya tentang Usamah
bin Ladin, jawabnya, “Aku berlepas diri dari Usamah bin Ladin, dia adalah
kejelekan dan bala’ atas umat, tindakan-tindakannya pun
jelek.”
Asy-Syaikh Ibnu
Baz memperingatkan dari bahaya mereka, “Tidak boleh seorang pun untuk bekerja
sama dengannya dalam kejelekan dan hendaknya mereka meninggalkan kebatilan ini.”
(Al-Fatawa Asy-Syar’iyyah fi Al-Qadhaya Al-Ashriyyah hal.
191-201)
Imam Samudra
mengatakan, “Dengan demikian jelaslah bahwa (warga) “sipil” bangsa-bangsa
penjajah yang pada asalnya tidak boleh diperangi, berubah menjadi boleh
diperangi karena adanya tindakan melampaui batas yaitu pembantaian atas warga
sipil yang dilakukan oleh bangsa penjajah. Dengan demikian, tercapailah
keseimbangan hukum dalam perlawanan dan demikian jihad bom Bali tidak dilakukan
secara asal-asalan dan serampangan.” (Aku Melawan Teroris hal. 116). Di halaman
135 sampai 145, dia berbicara tentang Islam dan keadilannya meski dalam kondisi
perang, hingga berakhir pada kesimpulan bolehnya membunuh warga sipil, rakyat
biasa yang non-muslim di mana saja dengan dalil orang-orang kafir pun telah
membantai warga sipil rakyat biasa kaum muslimin.
Bantahan
Entah keadilan
dan keseimbangan hukum mana yang dia anut. Kalaulah warga sipil dari negara
penjajah itu berada di medan pertempuran dengan kaum muslimin dan mereka
terlibat dalam penyerangan terhadap kaum muslimin, maka dapat dibenarkan
memerangi mereka. Tetapi apa yang terjadi dengan bom Bali? Tak ada seorang pun
yang mengatakan bahwa di Bali sedang berkecamuk perang antara muslimin dan
kafirin. Lagi pula, tak sedikit dari kaum muslimin yang menjadi korban bom jahat
itu. Adapun ayat yang dijadikannya sebagai dalil:
فَمَنِ اعْتَدَى
عَلَيْكُمْ فَاعْتَدُوا عَلَيْهِ بِمِثْلِ مَا اعْتَدَى
عَلَيْكُمْ
“Barangsiapa yang
menyerang kamu maka seranglah ia, sebanding dengan serangannya terhadapmu.”
(Al-Baqarah: 194)
Dan
ayat:
وَإِنْ
عَاقَبْتُمْ فَعَاقِبُوا بِمِثْلِ مَا عُوقِبْتُمْ بِهِ
“Dan jika kamu
memberikan balasan maka balaslah dengan balasan yang sama dengan siksaan yang
ditimpakan kepadamu.” (An-Nahl: 126)
Ayat-ayat ini
sesungguhnya justru menjadi hujjah atasnya. Al-Imam Ibnu Katsir rahimahullah
berkata, “Ayat yang mulia ini, ada kemiripan dengan ayat-ayat lain dalam
Al-Qur’an. Ayat ini meliputi disyariatkannya adil dan anjuran kepada sesuatu
yang utama.” (Tafsir Al-Qur’anul Azhim, 2/617)
Warga sipil yang
muslim ataupun non muslim tak seorang pun di antara mereka yang melakukan
penyerangan dan terlibat perang, maka pembunuhan yang dilakukan terhadap mereka
berarti menggugurkan salah satu pokok dari pokok-pokok Islam. Allah Subhanahu wa
Ta'ala berfirman:
أَمْ لَمْ
يُنَبَّأْ بِمَا فِي صُحُفِ مُوسَى. وَإِبْرَاهِيمَ الَّذِي وَفَّى. أَلاَّ تَزِرُ
وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَى. وَأَنْ لَيْسَ لِلإِنْسَانِ إِلاَّ مَا
سَعَى
“Ataukah belum
diberitakan kepadanya apa yang ada dalam lembaran-lembaran Musa dan
lembaran-lembaran Ibrahim yang selalu menyempurnakan janji? (Yaitu) bahwa
seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain dan bahwa seorang
manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya.” (An-Najm:
36-39)
Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ قَتَلَ
مُعَاهَدًا فِي غَيْرِ كُنْهِهِ حَرَّمَ اللهُ عَلَيْهِ
الْجَنَّةَ
“Barangsiapa
membunuh mu’ahad (orang kafir yang terikat perjanjian) tidak pada waktu/
tempatnya maka Allah mengharamkan surga untuknya.” (Hadits shahih dikeluarkan
oleh Abu Dawud dalam Sunan-nya no. 2760, An-Nasai dalam Sunan-nya no. 4761 dari
shahabat Abu Bakrah radhiallahu 'anhu)
Allah Subhanahu
wa Ta'ala berfirman:
وَقَاتِلُوا فِي
سَبِيلِ اللَّهِ الَّذِينَ يُقَاتِلُونَكُمْ وَلاَ تَعْتَدُوا إِنَّ اللَّهَ لاَ
يُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ
“Dan perangilah
di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu
melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang
melampaui batas.” (Al-Baqarah: 190)
Al-Imam Ibnu
Katsir rahimahullah berkata, “Yakni perangilah mereka (orang-orang kafir) di
jalan Allah dan jangan melampaui batas dalam hal itu. Termasuk melakukan hal-hal
yang dilarang seperti kata Al-Hasan Al-Bashri rahimahullah: Mencacah mayat orang
kafir, mengambil harta rampasan perang tanpa sepengetahuan pemimpin jihad,
membunuh wanita dan anak-anak serta orang tua (jompo) yang tidak memberikan
bantuan pemikiran kepada mereka (pasukan kafir) dan tidak pula ikut perang
bersamanya, membunuh pendeta dan biarawan, membakar pepohonan, dan membunuh
hewan tanpa ada kemaslahatan. Hal serupa dikatakan oleh Ibnu ‘Abbas, ‘Umar ibnu
Abdil ‘Aziz, Muqatil bin Hayyan, dan selainnya.” (Kemudian) Ibnu Katsir mengutip
beberapa hadits yang berkaitan dengan hal ini. (Lihat Tafsir Al-Qur’anil Azhim,
1/253)
Jika Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam mengecualikan beberapa kalangan orang kafir untuk
tidak diperangi dalam kondisi perang –yakni terhadap mereka yang tidak terlibat
penyerangan– lalu bagaimana kiranya dengan orang kafir yang tidak berada dalam
peperangan dan tidak terlibat penyerangan seperti di Bali, Jakarta, dan
tempat-tempat lainnya? Jika dikatakan, “Bukankah kedatangan mereka (orang kafir)
ke suatu tempat membawa kerusakan atau bahkan misi tertentu?” (seperti yang
dikatakan Samudra di hal. 149-150, 155-158). Jawabannya: hal itu bukanlah dalil
bolehnya membunuh mereka.
Asy-Syaikh Abdul
Aziz bin Baz rahimahullah berkata, “Tindakan menyakiti tidak boleh dilakukan
pada siapapun baik itu kepada para turis ataupun pekerja (asing) karena mereka
orang-orang yang masuk (ke suatu negara) dalam keadaan aman. Tetapi sampaikanlah
nasehat kepada pihak negara agar mencegah mereka dari hal-hal yang tidak layak
untuk ditampakkan. Adapun secara individu maka tidak boleh membunuh mereka atau
melukainya, namun hendaknya diangkat perkaranya ke hadapan wulatul umur
(pemerintah).” (Al-Fatawa Asy-Syar’iyyah hal. 113)
Beliau juga
berkata, “Tidak boleh membunuh orang kafir yang mendapat jaminan keamanan yang
telah diizinkan masuk oleh negara dalam keadaan aman. Tidak boleh pula membunuh
orang- orang yang bermaksiat, tidak pula melukai mereka.” (Fatawa Al-’Ulama
Al-Akabir fima Uhdhira min Dimaa fi Al-Jazaair hal. 75)
Di dalam Shahih
Al-Bukhari disebutkan bahwa Ummu Hani binti Abi Thalib mendatangi Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam pada hari Fathu Makkah. Ia mengadukan bahwa ‘Ali
bin Abi Thalib akan membunuh orang (musyrik) yang meminta perlindungan
kepadanya. Maka Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab, “Kami telah
memberikan perlindungan kepada orang yang meminta perlindungan kepadamu, hai
Ummu Hani.” (Hadits dikeluarkan oleh Al-Bukhari dalam Shahih-nya nomor 357 dari
Ummu Hani binti Abi Thalib radhiallahu 'anha)
Pada halaman
163, dia mengatakan:
اَلْجِهَادُ
مَاضٍ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ
“Jihad akan terus
berlangsung hingga hari kiamat. Ketiadaan khilafah atau daulah Islamiyyah saat
ini tidak menghalangi terselenggaranya jihad, seharusnya ketiadaan khalifah atau
amir (pemimpin) Islam tidak pula menghalangi jihad, juga tidak menyebabkan jihad
berhenti atau tertunda.” Kemudian di halaman 170 katanya, “Jadi bom Bali adalah
DEFOFFENSE JIHAD.”
Bantahan
Di halaman
sebelumnya (hal. 159), dia menuturkan bahwa faham jihad yang dianutnya adalah
dari para ulama yang bermanhaj Salafus Shalih. Sungguh ucapannya ini adalah
kebohongan dan pengkhianatan yang besar terhadap para ulama. Jika yang dimaksud
dengan para ulama itu adalah Usamah bin Ladin, Abdullah Azzam, atau Salman
Al-‘Audah dan semua yang setipe dengannya, maka sudah saya katakan bahwa mereka
tidak bermanhaj Salaf, bahkan berjalan di atas jalan yang bid’ah. Tunjukkan
bukti kebenaranmu jika kamu adalah orang yang benar!
Ucapanmu,
اَلْجِهَادُ مَاضٍ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ (Jihad akan berlangsung sampai hari
kiamat), apa sebetulnya yang kau maksud dari kutipan kata-kata ini? Kalau kamu
menganggap bahwa ini adalah ucapan ulama maka salah besar, dan menunjukkan bahwa
kamu sebenarnya tidak berjalan di atas manhaj Salaf. Lalu di atas manhaj apa?
Akan datang jawabannya! Sementara yang disebutkan para ulama yang bermanhaj
Salaf di dalam kitab-kitab aqidah adalah seperti perkataan Al-Imam Ath-Thahawi
rahimahullah:
وَالْحَجُّ
وَالْجِهَادُ مَاضِيَانِ مَعَ وَلِيِّ اْلأَمْرِ مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ بِرِّهِمْ
وَفَاجِرِهِمْ إِلَى قِيَامِ السَّاعَةِ لاَ يُبْطِلُهُمَا شَيْءٌ وَلاَ
يَنْقُضُهُمَا
“Haji dan jihad
keduanya akan tetap berlangsung bersama waliyyul amri (pemerintah) dari kaum
muslimin, yang baik dan yang jahat, hingga hari kiamat. Tak ada sesuatu yang
dapat membatalkannya, tidak pula menggugurkannya.” (Syarh Al-’Aqidah
Ath-Thahawiyyah hal. 387)
Al-Imam
Al-Bukhari rahimahullah membuat bab dalam Shahih-nya: “Bab Jihad tetap
berlangsung bersama (pemimpin) yang baik dan yang jahat.” (Shahih Al-Bukhari
dengan Al-Fath, 6/70)
Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّمَا
اْلإِمَامُ جُنَّةٌ يُقَاتَلُ مِنْ وَرَاءِهِ
“Sesungguhnya
imam (pemimpin) itu adalah pelindung/ perisai, yang (musuh) akan diperangi dari
belakangnya.” (HR. Al-Bukhari no. 2957 dan Muslim no. 1841 dari shahabat Abu
Hurairah radhiallahu 'anhu)
Dan kalau yang
kamu maksudkan dari kutipan itu adalah hadits, maka lebih salah lagi. Karena tak
ada satu pun lafadz hadits yang seperti itu, yang ada
adalah:
وَالْجِهَادُ
مَاضٍ مُنْذُ بَعَثَنِيَ اللهُ إِلَى أَنْ يُقَاتِلَ آخِرُ هَذِهِ الأُمَّةِ
الدَّجَّالَ
“Jihad akan tetap
berlangsung sejak Allah mengutusku hingga akhir generasi umat ini memerangi/
membunuh Dajjal.” Hadits ini dikeluarkan oleh Abu Dawud dalam Sunan-nya no.
2532, di dalam sanadnya ada seorang rawi yang bernama Yazid ibnu Abi Nusybah,
keadaannya majhul (tidak diketahui) seperti kata Al-Hafizh Ibnu Hajar
Al-’Asqalani rahimahullah dalam Taqribut Tahdzib (hal. 535). Karena itu beliau
berkata dalam Fathul Bari (6/70): “Dalam sanadnya ada
kelemahan.”
Saya tidak
mengingkari fardhiyyatul jihad (kewajiban jihad, red), namun tentu jihad harus
dilakukan di atas ilmu, memenuhi syarat-syaratnya, senantiasa bersama waliyyul
amri atau amir. Dan ini yang menjadi konsensus ulama Salafus Shalih Ahlus Sunnah
wal Jamaah. Jihad tidak boleh dilakukan dengan serampangan dan semangat konyol
yang pada akhirnya mati dalam keadaan tolol!
Asy-Syaikh Shalih
Al-Fauzan ketika beliau ditanya, “Akhir-akhir ini ada orang yang beranggapan
bahwa jihad wajib dilakukan tanpa harus ada imam.” Maka beliau menjawab, “Ini
pemikiran Khawarij, adapun Ahlus Sunnah mengatakan, ‘Harus ada imam (pemimpin).’
Ini adalah manhaj kaum muslimin dari sejak jaman Nabi Shallallahu 'alaihi wa
sallam. Yang beranggapan/ berfatwa tidak perlu dengan imam berarti mengikuti
hawa nafsu. Inilah ideologi Khawarij.” (Al-Fatawa Asy- Syar’iyyah hal.
151)
Inilah jawaban
yang saya maksudkan dari pertanyaan di atas. Jadi, bom jahat Bali sama sekali
bukan jihad, baik offensif atau defensif apalagi
defoffensif.
Imam Samudra
menganggap bahwa tolok ukur orang-orang yang mendapat hidayah adalah jihad dan
keterlibatannya di medan jihad. Kemudian mengistilahkan mereka dengan ulama
ahluts tsughur (orang-orang yang berjaga di perbatasan negeri muslim dengan
negeri kafir untuk menjaga dari serangan musuh, red). (Aku Melawan Teroris hal.
70 dan 172)
Bantahan
Mengklaim
orang-orang yang berjihad dan terlibat di medan jihad sebagai orang yang pasti
mendapat petunjuk secara umum, ini adalah vonis gegabah dan tanpa ilmu. Sebab,
kenyataannya didapati orang-orang yang berjihad namun tidak di jalan Allah. Tak
sedikit pula orang-orang yang menyerukan jihad dan terlibat dalam peperangan
ternyata aqidahnya rusak dan keyakinannya menyimpang. Mungkinkah mereka di atas
hidayah?
Fenomena yang
seperti ini jauh mula telah diberitakan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam, di mana ada yang berperang karena dorongan nasionalisme atau sekedar
ingin dibilang pemberani atau juga demi meraih kedudukan. Ketika hal itu
ditanyakan kepada Rasulullah, “Manakah yang di jalan Allah?” Beliau menjawab,
“Siapa yang berperang demi meninggikan kalimat Allah, dialah yang di jalan
Allah.”
Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam juga pernah bersabda:
وَالَّذِي
نَفْسِي بِيَدِهِ لَيَأْتِيَنَّ عَلَى النَّاسِ زَمَانٌ لاَ يَدْرِي الْقَاتِلُ فِي
أَيِّ شَيْءٍ قَتَلَ وَلاَ يَدْرِي الْمَقْتُوْلُ عَلَى أَيِّ شَيْءٍ
قُتِلَ
“Demi Dzat yang
jiwaku ada di tangan-Nya akan pasti datang suatu zaman menghampiri manusia, di
mana orang yang berperang tidak tahu untuk apa ia berperang dan orang yang
terbunuh tidak tahu atas dasar apa ia terbunuh.” (HR. Muslim dalam Shahih-nya
no. 2908)
Adapun ayat yang
dia jadikan dalil:
وَالَّذِينَ
جَاهَدُوا فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا وَإِنَّ اللَّهَ لَمَعَ
الْمُحْسِنِينَ
“Dan orang-orang
yang berjihad untuk (mencari keridhaan) benar-benar akan Kami tunjukkan kepada
mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang
yang berbuat baik.” (Al-’Ankabut: 69)
Lagi-lagi ayat
ini justru menjadi hujjah atasnya. Al-Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata:
“Yakni (mereka adalah) Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan para
shahabatnya serta orang-orang yang mengikutinya hingga hari kiamat.” (Tafsir
Al-Qur’anul Azhim, 3/440)
Jadi, siapa yang
berjihad dan berada di front-front jihad tidak otomatis sebagai orang-orang yang
mendapat hidayah. Tetapi siapa saja yang berjihad sesuai dengan petunjuk
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan para shahabatnya, berpijak di atas
As-Sunnah dan kesatuan aqidah yang benar, mereka itulah yang akan mendapatkan
janji Allah yang ada pada ayat tersebut.
Berkenaan dengan
atsar yang disebutkan dari Sufyan ibnu ‘Uyainah rahimahullah: “Jika kalian
menyaksikan manusia telah berselisih, maka ikutilah (pendapat) mujahidin dan
ahluts tsughur.” (Aku Melawan Teroris hal. 69)
Maka jawabannya,
atsar ini lengkapnya adalah bahwa Sufyan ibnu ‘Uyainah berkata kepada Ibnul
Mubarak, “Kalau engkau melihat manusia telah berselisih hendaklah engkau bersama
mujahidin dan ahluts tsughur karena sesungguhnya Allah telah berfirman:
لَنَهْدِيَنَّهُمْ “Benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka (jalan-jalan
mereka).” (Tafsir Al-Jami’ li Ahkamil Qur’an, 13/365)
Seandainya dia
menjelaskan tafsiran ayat itu (Al-Ankabut: 69) dengan lengkap, tentulah akan
dapat dipahami bahwa yang dimaksud dengan mujahidin dan ahluts tsughur dalam
atsar di atas –jika atsarnya shahih– tidak terkhususkan bagi setiap yang berada
di medan jihad dan di kamp- kamp pertahanan saja. Apalagi jika yang berada di
sana adalah orang-orang yang menyimpang aqidahnya, misal Al-Quburiyyun2, fanatik
madzhab, dan berbagai macam bid’ah seperti yang nampak di Afghanistan. (Lihat
Syarh Al-Farqu baina An-Nashihati wat Ta’yiiri oleh Asy-Syaikh Rabi’ bin Hadi
Al-Madkhali, www.sahab.net). Atau juga melakukan tindakan-tindakan bid’ah dalam
memerangi musuh, seperti bom bunuh diri yang marak di Palestina dan lain-lain.
Sementara, Al-Imam Ibnu Hazm mengatakan: “Islam tidak akan menang dengan
perantara (tangan-tangan) ahli bid’ah.” (Diambil dari Muqaddimah Asy-Syaikh
Muqbil dalam kitab Al- Mawahib fi Raddi ‘ala man Za’ama bi Islami Abi
Thalib).
Ibnu ‘Abbas dan
Ibrahim bin Adham berkata tentang ayat itu: “Yakni terhadap orang-orang yang
beramal dengan apa yang telah mereka ketahui ilmunya.” Beliau (Ibnu ‘Abbas)
berkata lagi: “(Maknanya) yaitu orang-orang yang berjihad dalam ketaatan
terhadap Kami, tentu Kami akan menunjukkan jalan pahala Kami. Dan keumuman taat
ini meliputi seluruh perkataan.”
Abu Sulaiman
Ad-Darani rahimahullah berkata: “Jihad yang terdapat dalam ayat tersebut bukan
semata-mata membunuh orang kafir saja, akan tetapi (jihad) dalam arti membela
agama, membantah orang-orang yang membawa kebatilan, melenyapkan orang-orang
yang zalim. Dan yang besarnya adalah amar ma’ruf nahi munkar, serta yang
termasuk bagian jihad adalah mujahadah nufus dalam menaati Allah Subhanahu wa
Ta'ala.” (Tafsir Al-Jami’ li Ahkamil Qur’an, 13/364-365)
Dengan demikian
yang disebut mujahid dan ulama mujahid bukan hanya orang-orang yang terlibat
peperangan3, apalagi yang berperang atau jihad dengan cara yang tidak syar’i.
Tetapi mujahid atau ulama mujahid adalah orang-orang yang berperang di jalan
Allah Subhanahu wa Ta'ala sesuai dengan apa yang telah disyariatkan Allah dan
Rasul-Nya, memerangi orang-orang kafir dengan tujuan meninggikan kalimat Allah
Subhanahu wa Ta'ala demi meraih keridhaan Allah Subhanahu wa Ta'ala. Al-Imam
Al-Qurthubi rahimahullah berkata tentang ayat (Al-Ankabut: 69): “Yakni
orang-orang yang memerangi kuffar demi meraih keridhaan Kami (Allah).” (Tafsir
Al-Jami’ li Ahkamil Qur’an, 13/364)
Mujahid atau
ulama mujahid adalah mereka yang membela agama Allah Subhanahu wa Ta'ala dengan
hujjah dan burhan (keterangan), membantah orang-orang yang menyimpangkan dari
agama Allah Subhanahu wa Ta'ala. Dalam hal ini Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah
rahimahullah berkata: “Orang yang membantah ahli bid’ah adalah mujahid.”
(Majmu’ul Fatawa, 4/13, diambil dari Usus Manhaj Salaf fi Da’wati ilallah hal.
151)
Al-Imam Ibnul
Qayyim rahimahullah mengatakan bahwa jihad (yang dilakukan) dengan pedang dan
tombak, dan jihad dengan hujjah dan burhan (penjelasan) ibaratnya dua saudara
kandung. (Diambil dari Usus Manhaj Salaf fi Da’wati ilallah hal.
151)
Dunia dewasa ini
sudah sangat akrab dengan kata-kata jihad, tetapi yang disesalkan telah terjadi
pergeseran dari makna yang sebenarnya kepada makna yang salah. Hampir semua aksi
mengatasnamakan jihad mulai dari demonstrasi, perusakan sejumlah tempat, hingga
peristiwa bom jahat Bali pun atas nama jihad dan pembelaan Islam. Tak dipungkiri
bahwa dalam peristiwa itu berjatuhan korban dari orang-orang kafir, namun
membunuh jiwa yang terpelihara dalam syariat Islam adalah haram. Jiwa-jiwa yang
saya maksudkan adalah jiwa seorang muslim, orang kafir yang terikat perjanjian,
orang kafir yang mendapat jaminan perlindungan, dan orang kafir yang mendapat
jaminan keamanan. Siapa yang melanggarnya maka Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam mengancam, “Tidak akan mencium baunya surga.” (Potongan dari hadits
Abdullah bin ‘Amr bin Al-’Ash radhiallahu 'anhuma dalam Shahih Al-Bukhari no.
3166)
Imam Samudra
menganggap aksi bom Bali sebagai amalan istisyhadiyyah (memburu/ mencari syahid)
serupa dengan peristiwa ledakan gedung WTC. Dia berdalil dengan kisah seorang
ghulam (anak) yang mati di tangan raja kafir dan kisah beberapa shahabat yang
menerobos pasukan kafir. Bahkan dia menganggap aksinya itu sebagai tindakan
jihad offensive atau defoffensive. (Aku Melawan Teroris hal.
171-189)
Bantahan
Teramat banyak
nash yang berisikan perintah jihad dan keutamaannya, karena jihad fi sabilillah
berkaitan dengan maslahat diniyyah dan duniawiyyah. Jihad menjadikan kalimat
Allah senantiasa tegak dan din-Nya tersebar di seluruh penjuru bumi, mencegah
siapa yang bermaksud jahat terhadap din-Nya dan pemeluknya. Karena itu, jihad
haruslah dilakukan dengan ilmu, sesuai dengan petunjuk Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam. Adapun orang bodoh, maka tidak layak untuk berbicara tentang
perkara sebesar ini. Akibat berangkat dari kebodohan, banyak orang yang
melakukan tindakan-tindakan tolol karena dorongan balas dendam semata terhadap
musuh tanpa mengindahkan apakah caranya tersebut halal ataupun
haram.
Pada dasarnya
amalan istisyhadiyyah adalah hal yang baik dan merupakan jihad fi sabilillah.
Namun hal itu bila dilakukan pada saat dan tempat yang tepat, yakni di saat dua
pasukan (Islam dan kafir) telah bertemu dan berada di barisan peperangan. Sedang
yang terjadi di Bali, tak ada barisan perang di sana, tidak pula sedang
berkecamuk perang. Maka sangat keliru bila dia mengatakan bahwa aksi itu adalah
amalan istisyhadiyyah.
Asy-Syaikh Abdul
Aziz Ar-Rajihi rahimahullah ketika ditanya tentang operasi istisyhadiyyah yang
marak akhir-akhir ini, beliau menjawab, “Yang nampak dari dalil-dalil, jelas hal
itu tidak disyariatkan, tidak termasuk bentuk penyerangan antara dua pasukan
dalam pertempuran. Kami katakan demikian karena:
1. Operasi yang
disebut istisyhadiyyah dilakukan bukan lagi dalam barisan peperangan, akan
tetapi di luar peperangan. (Yaitu dengan) mendatangi tempat-tempat di mana
orang-orang dalam keadaan lalai (tidak dalam barisan perang) kemudian dirinya
meledakkan (bom) di tengah-tengah mereka. Sementara nash-nash yang ada
menerangkan dalam barisan perang, kaum muslimin di satu barisan dan orang-orang
kafir berada di barisan lain, mereka berperang. Kemudian seorang mukmin
melemparkan dirinya/ menerobos ke tengah-tengah barisan
kuffar.
2. Sesungguhnya
yang berjibaku (in-ghimas) ke tengah-tengah pasukan kuffar, dia tidak membunuh
dirinya sendiri dan terkadang selamat. Berbeda dengan orang yang sengaja
meledakkan diri (dengan bom).
3. Dalam Shahih
Al-Bukhari, saat perang Khaibar ada salah seorang shahabat bernama ‘Amir bin
Al-Akwa, ketika akan menyerang seorang Yahudi, tiba-tiba ujung pedangnya meleset
hingga melukai kakinya kemudian meninggal dunia. Tatkala menyaksikan peristiwa
itu, para shahabat banyak membicarakan bahwa ‘Amir bin Al-Akwa telah
menggugurkan jihadnya bersama Rasulullah (yakni dianggap telah membunuh
dirinya). Lalu Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menemui saudaranya bernama
Salamah bin Al Akwa, beliau mendapatinya dalam keadaan sedih. Salamah bin
Al-Akwa pun berkata, “Ya Rasulullah, mereka mengatakan bahwa ‘Amir telah
menggugurkan jihadnya.” Rasulullah menjawab, “Telah berdusta siapa yang telah
mengatakan begitu. Ia berjihad, ia seorang mujahid, amat sedikit seorang bangsa
Arab yang tumbuh sepertinya.”
Kejadian yang
menimpa ‘Amir bin Al-Akwa adalah kejadian yang di luar kehendaknya dan tanpa
kesengajaannya, sehingga Rasulullah menegaskan, “Telah dusta orang yang
menganggap ‘Amir telah menggugurkan jihad.” Namun, kejadian itu membuat riskan
para shahabat, lalu mengira bahwa ‘Amir menggugurkan jihadnya (membunuh
dirinya), dalam kondisi ‘Amir dalam barisan perang dan tidak membunuh dirinya,
tidak pula dirinya meledakkan (bom). Lalu bagaimana kiranya dengan seorang yang
tidak berada di barisan perang kemudian dirinya meledakkan (bom) di
tengah-tengah orang yang sedang tenang?” (Al-Fatawa Asy-Syar’iyyah hal.
174-176)
Dari sini kiranya
para pembaca dapat memahami bahwa bom Bali dan bom-bom lainnya lebih tepat
dikatakan aksi bom bunuh diri (dan bunuh diri itu haram).
Imam Samudra
ataupun Usamah bin Ladin tidak punya dalil sedikit pun untuk membenarkan
aksi-aksi jahatnya. Kisah-kisah jibaku, menerobos pasukan kuffar seperti yang
dikutipnya di halaman 175-176 bukanlah dalil yang membenarkan tindakannya. Dia
hanya menganalogikan dua hal yang berbeda. Para shahabat yang dikisahkan
berjibaku ke tengah-tengah pasukan kafir hanya dilakukan dalam kancah barisan
peperangan, antara barisan muslimin dan barisan kafirin. Adapun yang
dilakukannya di Bali, jelas tak ada di depannya barisan pasukan kuffar. Para
shahabat yang berjibaku tidak membunuh diri mereka, tidak memasang sesuatu di
tubuhnya, tidak melukai dirinya, sedangkan dia (Imam Samudra) dan orang-orang
yang melakukan tindakan yang sama sepertinya, mereka menghancurkan dan melukai
diri mereka dengan memasang bom di tubuh, dengan bom mobil, atau cara
lainnya.
Dalil analoginya
sangat lemah. Amat baik kalau orang macam dia banyak belajar. Dia hanya
menganalogikan dua hal yang berbeda alias qiyas ma’al fariq. Sementara para
ulama ushul mengatakan la qiyas ma’al fariq (tidak ada qiyas jika terdapat
perbedaan).
Kaitannya dengan
kisah ghulam4 (pemuda) mukmin yang dia jadikan juga sebagai dalil atas
tindakannya dan atas aksi bom WTC seperti dikutip di halaman 179-181 dan 186-187
di mana sang raja yang musyrik dan kafir bermaksud untuk membunuhnya,
dilakukanlah upaya-upaya untuk dapat mengeksekusinya di antaranya dengan
melemparkan sang ghulam mukmin ini dari puncak gunung, kemudian melemparkannya
ke tengah-tengah lautan, namun semua upaya untuk mengeksekusinya itu gagal.
Allah tetap menyelamatkan sang ghulam hingga pada suatu hari berkatalah ia
kepada raja kafir itu, “Engkau tidak akan dapat membunuhku kecuali dengan
mengikuti perintahku. Kumpulkan semua manusia di tengah lapangan yang luas,
kemudian ambillah satu anak panah dari sarung panahku, letakkan pada busur
panah, lalu ucapkanlah bismillahi rabbil ghulam.” Si raja pun mematuhi instruksi
ghulam, kemudian panah itu diluncurkan dan mengenai pelipisnya sang ghulam
hingga ia pun mati. Masyarakat yang menyaksikan kejadian itu serentak
mengucapkan, “Kami beriman kepada Rabb ghulam.” (Saat itu semua masyarakat tidak
lagi mengatakan bismil malik (atas/ dengan nama raja)).
Kisah ghulam
mukmin ini dimuat dalam Shahih Muslim (no. 3005) dari shahabat Shuhaib Ar- Rumi,
dimuat juga dalam Musnad Ahmad, dan yang lainnya. Lihat Tafsir Al-Qur‘anul Azhim
(4/521).
Berdalil dengan
kisah ini juga tak jauh beda dengan sebelumnya alias qiyas ma’al fariq
(menganalogikan dua hal yang berbeda). Bagaimana itu?
Daripada umat
dibikin pusing dengan igauannya yang luar biasa ngaco, lebih baik saya suguhkan
penuturan para ulama bermanhaj Salafus Shalih tentang hal ini. Simaklah ucapan
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah, beliau berkata, “Peristiwa ghulam
ini membuahkan manfaat yang besar untuk Islam. Dan sesungguhnya perkara yang
diketahui oleh umum (banyak orang) bahwa yang menyebabkan ghulam terbunuh adalah
ghulam itu sendiri, tidak diragukan! Tetapi dengan kebinasaannya membuahkan
manfaat besar di mana umat beriman seluruhnya. Maka jika membuahkan manfaat yang
seperti ini bolehlah bagi seseorang membela agamanya dengan dirinya. Adapun
sekedar membunuh sepuluh orang atau dua puluh orang tanpa ada faedah dan tanpa
ada perubahan sedikitpun, maka perlu untuk dicermati kembali. Bahkan hal itu
adalah haram, bisa jadi orang-orang Yahudi akan melakukan pembalasan hingga
membunuh seratus orang (dari kaum muslimin, pent.).” (Diambil dari Al-Fatawa
Asy-Syar’iyyah hal. 171)
Asy-Syaikh Ibnu
‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Adapun apa yang dilakukan sebagian orang,
dengan membawa alat peledak (bom) lalu mendatangi orang-orang kafir kemudian
meledakkannya di tengah-tengah mereka, maka aksi ini adalah bagian dari aksi
bunuh diri, wal ‘iyadzubillah.” (Syarh Riyadhush Shalihin,
1/130)
Jadi, jelas beda
apa yang dilakukan Imam Samudra di Bali dan komplotannya di Amerika atau di
belahan bumi lainnya dengan apa yang dilakukan sang ghulam mukmin. Kalau dia
katakan bahwa setelah peristiwa hancurnya WTC, banyak orang mengucapkan dua
kalimat syahadat seperti di halaman 186-187, maka saya katakan, “Dusta! Jangan
menutup mata mentang- mentang kamu dipenjara sekarang! Katakan berapa orang yang
beriman karena peristiwa itu di Amerika? Jangankan semua, seperempatnya pun
tidak ada. Bahkan semua telunjuk-telunjuk manusia mengarah kepada Islam bahwa
Islamlah biang kerusakan, terorisme, yang menambah orang-orang kafir semakin
yakin dalam kekafirannya.” Tak ada bedanya bom jahat yang terjadi di Bali dan
tempat-tempat lainnya, apa yang dia lakukan adalah kerusakan di atas
kerusakan.
Imam Samudra
mencela para ulama yang menempuh manhaj Salaf, seperti perkataan, “Mereka tidak
ngerti trik-trik politik.” (hal. 92). “Fatwa yang keluar dari mereka akibat
tekanan Amerika.” (hal. 184). “Mereka ulama munafiq.” (hal.
186).
Bantahan
Allah Subhanahu
wa Ta'ala berfirman:
وَإِذَا
جَاءَهُمْ أَمْرٌ مِنَ الأَمْنِ أَوِ الْخَوْفِ أَذَاعُوا بِهِ وَلَوْ رَدُّوهُ
إِلَى الرَّسُولِ وَإِلَى أُولِي الأَمْرِ مِنْهُمْ لَعَلِمَهُ الَّذِينَ
يَسْتَنْبِطُونَهُ مِنْهُمْ وَلَوْلاَ فَضْلُ اللَّهِ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَتُهُ
لاَتَّبَعْتُمُ الشَّيْطَانَ إِلاَّ قَلِيلاً
“Dan apabila
datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka
lalu menyiarkannya. Dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri
(ulama) di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui
kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan Ulil Amri). Kalau
tidaklah karena karunia dan rahmat Allah kepada kamu, tentulah kamu mengikut
syaitan, kecuali sebahagian kecil saja (di antaramu).” (An-Nisa:
83)
Imam Samudra
alias Abdul ‘Aziz alias Qudama –dan entah apa lagi namanya– beserta para tokoh
panutannya seperti Usamah bin Ladin, Abdullah Azzam, dan lain-lain, bukan
ahlinya untuk berbicara masalah yang besar ini (jihad). Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyyah rahimahullah berkata, “Pada umumnya, membahas perkara-perkara yang
mendetail ini (jihad) adalah tugas ahlul ilmi.” (Diambil dari Fatawa Al-’Ulama
Al-Akabir hal. 25)
Bila yang
berbicara dan mengendalikan urusan besar ini dan urusan-urusan lainnya adalah
mereka, maka tunggulah saatnya kehancuran. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam bersabda:
لاَيَزَالُ
النَّاسُ صَالِحِيْنَ مُتَمَاسِكِيْنَ مَا أَتَاهُمُ الْعِلْمُ مِنْ أَصْحَابِي
مُحَمَّدٍ وَمِنْ أَكَابِرِهِمْ فَإِذَا أَتَاهُمْ مِنْ أَصَاغِرِهِمْ
هَلَكُوْا
“Manusia akan
senantiasa dalam keadaan baik dan penuh komitmen selama ilmu yang datang/ sampai
kepada mereka dari para shahabat Muhammad dan dari orang-orang besarnya (para
ulamanya), namun jika (ilmu) yang sampai pada mereka dari orang-orang kecilnya
(orang-orang jahil) niscaya mereka binasa.” (HR. Ath-Thabrani, 9/8589 dari
shahabat Abdullah bin Mas’ud radhiallahu 'anhu, diambil dari Fatawa Al-’Ulama
Al-Akabir, hal. 33-34)
Imam Samudra
kehabisan cara bagaimana kiranya dapat mengangkat tokoh-tokoh panutannya itu.
Bidang aqidah mereka bukan ahlinya, fiqh juga demikian, hadits apa lagi.
Akhirnya Samudra menggelari mereka dengan ulama mujahid, ahlits tsughur. Tapi
bagaimana orang yang tidak punya ilmu digelari mujahid atau bahkan ahlits
tsughur? Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un.
Imam Samudra
mencela para ulama yang menempuh manhaj Salaf di saat mereka tidak mencocoki
hawa nafsunya. Ketika para ulama menyatakan haramnya operasi bom seperti yang
dia lakukan di Bali, dia dengan pongahnya mengatakan, “Fatwa para ulama itu
akibat tekanan dari Amerika.” Ketika para ulama mengutuk peristiwa WTC dengan
angkuhnya dia mengatakan, “Para ulama itu munafiq.” Lalu bagaimana dia katakan
dirinya mengikuti manhaj Salafus Shalih sedangkan dia mencela ulama-ulama yang
menempuh manhaj Salaf?! Bagaimana kiranya pembaca menyikapi dan menghukumi orang
yang prototipenya model begini?
Simaklah
perkataan Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan. Beliau berkata, “Tak seorang
pun yang melanggar kehormatan para ulama yang istiqamah di atas jalan yang haq,
melainkan satu di antara tiga keadaan: boleh jadi dia seorang munafik yang telah
diketahui kemunafikannya, atau ia seorang yang fasiq membenci para ulama karena
mereka (ulama) telah mencegahnya dari kefasiqan/ tindakan fasiq, atau juga dia
seorang hizbi, sesat, membenci ulama karena para ulama tidak mencocoki
hizbiyyahnya dan pemikiran-pemikirannya yang menyimpang.” (Al-Ajwibah Al-
Mufidah hal. 51)
Daging ulama itu
beracun, hai Samudra!
(Dan mencela
ulama Ahlus Sunnah itu adalah tanda ahli bid’ah, lalu bagaimana kamu mengaku
sebagai Ahlus Sunnah?? -ed)
Imam Samudra
menganggap ada kelompok “Salafy irja’i / Murji’ah” di Indonesia, yang mengklaim
bahwa tindakan yang dilakukannya bid’ah/ haram. (Aku Melawan Teroris, hal. 171-
172)
Bantahan
Siapa yang kau
maksud dengan “Salafy irja’i”? Kalau yang kamu maksudkan adalah mereka yang
mengaku-ngaku Salafy yang makmur dengan dukungan finansial dari lembaga-lembaga
hizbiyyah bid’iyyah macam Al-Shofwa Jakarta atau Ihya’ At-Turats Kuwait dan yang
lainnya (seperti yang kamu sebutkan) maka kamu telah salah. Saya beritahu bahwa
mereka itu bukan Salafy. Mereka adalah hizbiyyun Sururiyyun, kepanjangan dari
Quthbiyyah Ikhwaniyyah.
Tapi bila yang
kau maksudkan adalah mereka yang tengah berusaha menempuh manhaj Salafus Shalih
dengan senantiasa mengikuti para ulama yang bermanhaj Salaf, maka gelarmu kepada
mereka adalah malapetaka bagimu. Dan semakin membuka kedokmu di atas manhaj apa
sebetulnya kamu berjalan. Gelar yang kamu sebutkan “Salafy irja’i/ Murji’ah”
sebetulnya bukan hal yang baru jika ditujukan kepada Salafiyyun yang senantiasa
menempuh manhaj Salafus Shalih Ahlus Sunnah wal Jamaah. Karena ciri ahlil bid’ah
sejak dulu adalah melemparkan gelar- gelar yang jelek terhadap Ahlus Sunnah.
Saya yakin, dirimu tidak paham Salafy, tidak pula paham hakikat Murji’ah
sehingga kamu gabungkan antara Salafy dengan Murji’ah.
Sejenak bila
menoleh sejarah, sebenarnya telah ada orang yang menuduh Salafy dengan tuduhan
murji‘ah seperti yang telah saya singgung di atas. Akhirnya diketahui bahwa yang
menuduhnya adalah bermanhaj khariji (Khawarij). Simaklah
kisahnya.
Suatu ketika
Abdullah ibnul Mubarak mendatangi kota Ar-Ray (sebuah kota yang letaknya di
jantung negeri Khurasan, pent.). Tiba-tiba datanglah seorang laki-laki
menghampirinya lalu berkata, “Hai Abu Abdirrahman (ibnul Mubarak), apa
pendapatmu tentang orang yang berzina, mencuri, dan minum khamr?” Beliau
menjawab, “Aku tidak menganggapnya telah keluar dari keimanan.” Demi mendengar
jawaban itu, spontan laki-laki itu berkata, “Hai Abu Abdirrahman, di masa tuamu
engkau telah menjadi Murji’ah?!” Beliau menjawab, “Jangan engkau gelari aku
dengan murji`ah, sesungguhnya orang-orang Murji’ah itu mengatakan: Kebaikan kita
pasti diterima, dan kejelekan kita pasti diampuni (karena menganggap tak ada
bedanya antara kebaikan dan kejelekan dan tidak ada pengaruh bagi si pelakunya,
pent.). Seandainya aku tahu kebaikan yang kulakukan pasti diterima tentulah aku
mengklaim sebagai penghuni surga.” (Belakangan) laki-laki itu diketahui
bermadzhab Khawarij. (Atsar ini dikeluarkan oleh Al-Imam Abu ‘Utsman Ash-Shabuni
dalam Aqidatus Salaf wa Ashhabul Hadits hal. 119-120, cetakan Darul
Asinah)
Nah, sekarang
saya tidak akan katakan kamu Salafy Khariji sebab ini berarti mencampuradukkan
yang haq dengan yang batil. Tetapi saya katakan kalau kamu adalah Khariji
(bermanhaj Khawarij)!
Imam Samudra
mengkafirkan pemerintahan Indonesia, dianggapnya hukum di Indonesia tidak jauh
beda dengan hukum Ilyasiq5 yang berlaku di zaman Jenghis-Khan, maka hukum
Indonesia adalah hukum kafir new Ilyasiq. (Aku Melawan Teroris hal.
200-201)
Bantahan
Perkara yang
tidak diperdebatkan antara para ulama baik yang terdahulu, kemudian, maupun
sekarang, bahwa siapa yang berhukum dengan selain hukum yang diturunkan Allah
Subhanahu wa Ta'ala berupa hukum-hukum buatan manusia, hukum-hukum jahiliyyah
dan mengingkari berhukum dengan syariat Allah Subhanahu wa Ta'ala, atau
menganggap hukum Allah Subhanahu wa Ta'ala tidak cocok untuk diterapkan di masa
sekarang, atau hukum Allah Subhanahu wa Ta'ala dengan hukum selainnya sama, maka
dia telah keluar dari Islam alias kafir. Inilah yang menjadi kesepakatan para
ulama yang menempuh manhaj Salafus Shalih Ahlus Sunnah wal Jamaah. Seperti
halnya mereka juga telah bersepakat tentang tidak kafirnya orang yang berhukum
dengan selain hukum yang diturunkan Allah Subhanahu wa Ta'ala dengan tidak
disertai pengingkaran (terhadap hukum Allah Subhanahu wa
Ta'ala).
Bahkan para ulama
Ahlus Sunnah wal Jamaah seperti Al-Imam Abu Bakr Al-Ajurri, Ibnu Abdil Barr,
Al-Qadhi Abu Ya’la, dan ulama yang lainnya seperti Al-Jashshash mengatakan bahwa
pendapat yang mengkafirkan seluruh orang yang berhukum dengan selain hukum Allah
Subhanahu wa Ta'ala tanpa memperinci apakah dengan pengingkarannya (terhadap
hukum Allah) atau tidak, adalah pendapat (pernyataan) Khawarij. (Lihat Fiqhu
As-Siyaasah Asy- Syar’iyyah hal. 86-87)
Sekali lagi
manhaj Khawarij inilah yang sebenarnya ditempuh oleh Imam Samudra. Dari
pernyataannya, dia mengkafirkan setiap negara (pemerintahan) yang tidak berhukum
dengan hukum Allah secara mutlak tanpa memperinci. Agaknya lebih sempurna kalau
saya nukilkan ucapan-ucapan para ulama yang bermanhaj Salafus Shalih Ahlus
Sunnah wal Jamaah dalam hal ini. ‘Ali ibnu Abi Thalhah meriwayatkan dari Ibnu
‘Abbas tentang tafsir firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:
وَمَنْ لَمْ
يَحْكُمْ بِمآ أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ
الْكَافِرُونَ
“Barangsiapa yang
tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah
orang-orang yang kafir.” (Al-Maidah: 44)
Kata beliau,
“Yakni siapa yang mengingkari (hukum) yang telah Allah Subhanahu wa Ta'ala
turunkan maka ia telah kafir. Dan siapa yang mengakuinya namun tidak berhukum
dengannya maka ia zalim dan fasiq.” (Dikeluarkan oleh Ibnu Jarir dalam
Tafsir-nya, 10/357, Tafsir Al-Qur’anul Azhim, 2/66)
Al-Imam
Al-Qurthubi rahimahullah berkata tentang ayat ini, “Yakni dengan penuh keyakinan
dan menganggap halal (berhukum dengan selain hukum Allah Subhanahu wa Ta'ala).
Adapun yang melakukan hal itu (berhukum dengan selain hukum Allah Subhanahu wa
Ta'ala) namun dia meyakini bahwa dirinya telah melakukan sesuatu yang haram,
maka dia tergolong orang-orang fasiq dari kaum muslimin. Urusannya diserahkan
kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, jika (Allah) berkehendak akan mengadzabnya dan
jika berkehendak akan mengampuninya.” (Al-Jami’ li Ahkamil Qur’an,
6/190)
Masih banyak lagi
para ulama lainnya yang mengatakan seperti pernyataan di atas, di antara mereka
Al-Imam Al-Baidhawi dalam Tafsir-nya jilid 1/208, Al-Imam Ath-Thahawi lihat
Syarh Al- ’Aqidah Ath-Thahawiyyah (hal. 323-324), Ibnul Jauzi dalam Zadul Masir
(3/366), Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam Minhajus Sunnah An-Nabawiyyah,
Al-Imam Asy-Syinqithi dalam Adhwa-ul Bayan (2/104), Asy-Syaikh Abdurrahman
As-Sa’di, Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz, Asy-Syaikh Al- Albani, dan lain-lain.
(Lihat Fiqhu Siyasah Asy-Syar’iyyah hal. 87-92)
Terakhir, Al
Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah berkata tentang ayat:
وَمَنْ لَمْ
يَحْكُمْ بِمآ أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ
الْكَافِرُونَ
“Barangsiapa yang
tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah
orang-orang yang kafir.” (Al-Maidah: 44),
“Yakni karena
mereka mengingkari hukum Allah Subhanahu wa Ta'ala dengan sengaja dan
membangkang darinya.” (Tafsir Al-Qur’anul Azhim, 2/67)
Dan inilah makna
pernyataan beliau yang mengkafirkan hukum Ilyasiq di zaman Jenghis-Khan
sebagaimana yang dikutip oleh Imam Samudra di halaman 200. Yakni karena mereka
mengutamakan dan lebih mengedepankan hukumnya daripada hukum Allah Subhanahu wa
Ta'ala. (Lihat Tafsir Al Qur’anul ‘Azhim, 2/73)
Para pembaca,
demikianlah upaya penjelasan ini ditempuh sebagai suatu bentuk tanggung jawab
kepada umat, ketika kedustaan itu mengatasnamakan Islam, saat kesesatan dan
kejahatan itu berlindung di balik nama dakwah Islam yang haq, manhaj Salafus
Shalih Ahlus Sunnah wal Jamaah.
Pengakuan semata
tanpa ada dalil, kemudian bertolak belakang dengan kenyataan, tidaklah berarti
apa-apa dan tidak bermanfaat sedikitpun. Sekiranya pengakuan saja dapat
bermanfaat tentulah pengakuan orang-orang Yahudi dan Nashrani akan bermanfaat
dan benar tatkala mereka mengklaim bahwa al-jannah (surga) itu khusus untuk
mereka. Seperti firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:
وَقَالُوا لَنْ
يَدْخُلَ الْجَنَّةَ إِلاَّ مَنْ كَانَ هُوْدًا أَوْ نَصَارَى تِلْكَ
أَمَانِيُّهُمْ قُلْ هَاتُوا بُرْهَانَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ
صَادِقِيْنَ
“Dan mereka
(Yahudi dan Nasrani) berkata: “Sekali-kali tidak akan masuk surga kecuali orang-
orang (yang beragama) Yahudi atau Nasrani”. Demikian itu (hanya) angan-angan
mereka yang kosong belaka. Katakanlah: “Tunjukkanlah bukti kebenaranmu jika kamu
adalah orang yang benar”. (Al-Baqarah: 111)
Wal ‘ilmu
‘indallah.
1 Buku itu lebih
pas kalau diberi judul Aku adalah Teroris, tentu saja dengan poster sang jagoan
yang tengah mengacungkan jari telunjuknya. Sebab tindakan-tindakan dan
pemikirannya jauh dari syariat Islam. Asy-Syaikh Ibnu Baz rahimahullah
mengatakan, “Orang-orang yang membunuh dan melukai manusia dengan cara yang
tidak syar’i, mereka adalah irhabiyyun (teroris). Mereka adalah para perusak,
mereka adalah orang-orang yang membuat kacau keamanan manusia dan menciptakan
problem dengan negaranya.” (Diambil dari Al-Fatawa Asy-Syar’iyyah hal.
112-113)
2 Yaitu
orang-orang yang meyakini bahwa kuburan atau penghuni kubur dapat memberi
manfaat atau menolak madharat sehingga tempat kembali dan bergantung mereka
adalah kuburan. Quburiyyun adalah bagian dari firqah
Shufiyyah.
3Hal ini
didukung oleh hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam yang artinya: “Seorang
mujahid adalah orang yang bersungguh-sungguh melawan dirinya dalam ketaatan
kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala.” (HR. Ahmad dari shahabat Fadhalah bin ‘Ubaid
dishahihkan oleh Asy- Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam Ash-Shahihah
no.549)
4 Lihat kisah ini
selengkapnya pada Majalah Asy-Syariah Vol. 1/No.11, Rubrik Permata Hati hal.
66-68.
(http://www.asysyariah.com/print.php?id_online=246)
Ta'awwun Pembangunan Asrama Putra Ponpes as Sunnah Junrejo Batu
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
الحمد لله رب العالمين والصلاة والسلام على رسول لله وعلى آله وصحبه اجمعين. أما بعد Dengan berjalan nya waktu, alhamdulilah jumlah santri semakin bertambah banyak dan dengan ini menuntut kita dari panitia untuk menambah sarana dan prasarana bagi santri terutama Asrama ( untuk tempat tinggal mereka ). Oleh karena itu kami menghimbau segenap kaum muslimin untuk ikut berdo'a dan berta'awun dalam program Pembangunan Asrama Putra Tahap 1 dari 6 Tahap yang direncanakan insyaallah. Adapun kebutuhan anggaran tahap awal untuk pembangunan Tahap 1 Kurang Lebih sebesar Rp. 406.000.000,- Dan juga kami mengajak kaum muslimin untuk berlomba-lomba bershadaqah jariyah dengan mengharap ridho Allah Subhanahu wa Ta'ala. Bagi yang ingin bershadaqah jariyah dalam bentuk uang bisa ditransfer melalui: Rekening Ta'awun Pembangunan Ponpes As-Sunnah Junrejo Batu BCA: 8160790912MANDIRI: 144-00-1271599-8
a/n A. Ruzano Sjofka
Dan dimohon konfirmasi setelah ada pengiriman ke Abu Abdillah Fauzan :081252258108
Bagi yang ingin bershodaqoh jariyah berupa Uang Tunai atau Material Bangunan serta RAB secara detail bisa langsung menghubungi panitia:
Abu Ammar Lutfi Bajuber 081233240961
Abu Abdillah Fauzan 081252258108
Abu Mush'ab Faishol 081334415668
Atas do'a dan ta'awun antum semua kami ucapkan Jazaakumullahu khairan wa Baarakallahu fiikum
والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته Mengetahui :Asatidzah Pembina Ponpes As-sunnah :
▪Al Ustadz Usamah bin Faisol Mahri
▪Al Ustadz Ahmad Khodim
▪Al Ustadz Abdusamad Bawazir
Panitia Pembangunan Ponpes As-sunnah Junrejo Batu